Warisan Syekh Yusuf Al-Makasari di Afrika Selatan
-
Tanggal 14 Desember 1683 adalah hari yang amat sial bagi Syekh Yusuf Al-Makasari dan para pengikutnya. Ulama asal Gowa, Sulawesi Selatan ini ditangkap Belanda dan kemudian dikirim ke Batavia sebagai tahanan. Penangkapan itu dilakukan lantaran Syekh Yusuf membantu raja Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), menghadapi Belanda.
Syekh Yusuf tidak terlalu lama mendekam di Batavia. Belanda tampaknya masih mencemaskan pengaruh orang ini kendati para pengikutnya sudah dikirim ke Cirebon untuk dipulangkan ke Sulawesi Selatan. Maka, diputuskan bahwa Syekh Yusuf beserta istri dan anaknya akan diasingkan ke Ceylon atau Sri Lanka.
Di Sri Lanka, kharisma Syekh Yusuf tetap memancar. Meski berstatus sebagai tahanan Belanda, ia tetap melancarkan dakwah di negeri pengasingannya itu. Tidak sedikit warga Sri Lanka yang diislamkan oleh Syekh Yusuf melalui pendekatannya yang bersahabat.
Tak hanya itu. Ia juga berhasil menjalin hubungan dengan para jemaah haji asal Nusantara yang transit di ke Sri Lanka sebelum melanjutkan pelayaran ke Mekkah, atau sebaliknya. Dari situlah ia bisa menitipkan surat yang ditujukan kepada Kesultanan Banten maupun Kesultanan Gowa.
Belanda merasa kecolongan, sekaligus khawatir dengan semakin banyaknya pengikut Syekh Yusuf di Sri Lanka. Tindakan antisipasi pun segera disiapkan. Pada 7 Juli 1693, Belanda akhirnya mengasingkan sang ulama ke tempat yang lebih jauh: Afrika Selatan.
A.A. Cense melalui tulisannya berjudul “Pemujaan Syaikh Yusuf di Sulawesi Selatan” yang terhimpun dalam buku Sejarah Lokal di Indonesia (1996) suntingan Taufik Abdullah mengungkapkan bahwa di benua hitam inilah perjuangan Syekh Yusuf Al-Makasari benar-benar usai (hlm. 244).
Asal-Usul Ulama Pengelana
Syekh Yusuf Al-Makasari lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, dengan nama Muhammad Yusuf pada 3 Juli 1626. Nama ini konon diberikan Sultan Alauddin (1593-1639), penguasa Gowa pertama yang memeluk Islam.
Terdapat beberapa versi terkait hubungan antara Muhammad Yusuf dengan Alauddin. Versi pertama menyebut, Yusuf adalah putra kandung Alauddin dari salah satu istrinya yang tidak tinggal di istana. Dikutip dari buku Syaikh Yusuf Seorang Ulama; Sufi dan Pejuang (1994) yang ditulis Abu Hamid, Alauddin merahasiakan perkawinan yang nantinya melahirkan Yusuf itu agar tidak menyakiti hati permaisuri (hlm. 131).
Namun, Alauddin tidak ingin menelantarkan Yusuf dengan memasukkannya ke lingkungan istana dan dibesarkan sebagaimana anak-anak sultan lainnya. Alauddin, lanjut Hamid, menunjuk seorang bangsawan Gowa keturunan Arab bernama Khaidir untuk berpura-pura menjadi ayah Yusuf.
Setelah beranjak remaja, Yusuf dinikahkan dengan salah seorang putri Alauddin yang bernama Sitti Daeng Nisanga. Menurut Hamid, pernikahan ini adalah perkawinan palsu yang diprakarsai oleh sultan untuk mengelabui permaisuri (hlm. 132).
Adapun versi kedua meyakini bahwa Muhammad Yusuf adalah putra angkat Alauddin. Samsul Munir Amin dalam buku Karomah Para Kiai (2008) menyebut, ibunda Yusuf bernama I Tubiana Daeng Kunjung yang masih keturunan raja-raja Gowa, namun bukan istri Alauddin (hlm. 227).
Menurut versi kedua ini, Muhammad Yusuf dilahirkan di lingkungan Istana Gowa dan diberi nama oleh Alauddin. Sang sultan tampaknya memang sangat menyayangi Yusuf dan menjadikannya sebagai anak angkat.
Terlepas dari status anak kandung atau anak angkat, Muhammad Yusuf memang kerap memperkenalkan dirinya sebagai putra Alauddin. Salah satunya seperti yang dikutip dari buku Syekh Yusuf Menuntun Kita ke Surga (2008: 26) karya Siradjuddin Bantang:
“[…] saya adalah Yusuf, berasal dari Kerajaan Gowa, anak Karaeng Sombaya Ri Butta Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14.”
Yusuf memang perlu begitu selama berkelana, termasuk saat pertama kali menghadap penguasa Kesultanan Banten, Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad, pada 1644. Banten kala itu memang bersahabat dengan Gowa sehingga kehadiran Yusuf yang memperkenalkan diri sebagai putra Sultan Gowa langsung diterima dengan baik.
Banten, Aceh, hingga Timur Tengah
Selama tinggal di Banten untuk memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada ulama-ulama terkenal di kesultanan yang terletak di ujung barat Pulau Jawa itu, Yusuf menjalin persahabatan yang erat dengan anak-anak Abu al-Ma’ali Ahmad, terutama dengan putra mahkota yakni Abu al-Fath Abdulfattah atau Pangeran Surya.
Pangeran Surya inilah yang pada 1651 naik takhta dengan gelar nama Sultan Ageng Tirtayasa. Muhammad Yusuf alias Syekh Yusuf Al-Makasari nantinya diangkat sebagai mufti kerajaan sekaligus penasihat Tirtayasa dan turut berjuang menghadapi Belanda yang bermaksud memecah-belah Kesultanan Banten.
Menurut catatan Kasma F. Amin dalam Para Tawanan Perang: Kisah Syekh Yusuf Al-Makasari dan Arung Palakka (2017), setelah beberapa waktu lamanya menetap di Banten, Muhammad Yusuf melanjutkan pengembaraannya ke Aceh. Ia merantau ke Aceh lantaran tertarik dengan ajaran sufi dari seorang ulama besar bernama Syekh Nuruddin ar-Raniri (hlm. xvii).
Yusuf tiba di tanah rencong pada 1645 saat Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin seorang ratu, yakni Sultanah Safiatuddin Tajul-'Alam (1641-1675), yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda. Kepada Nuruddin ar-Raniri, Yusuf belajar ilmu tasawuf dan tarekat.
Dua tahun di Aceh, Yusuf berniat meneruskan perantauannya ke Timur Tengah. Ia berlayar pada 1649 dan sempat singgah di Sri Lanka sebelum menuju Yaman. Selain di beberapa kota di Yaman, Yusuf juga memperdalam ilmu agama di Madinah dan Mekkah, sekaligus menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari Timur Tengah pada 1670, Yusuf tidak langsung pulang ke Gowa, melainkan menuju Banten yang waktu itu dipimpin karibnya, Tirtayasa.
Ia mendengar bahwa Kesultanan Banten mulai terancam oleh Belanda. Yusuf turut terlibat dalam pertikaian melawan penjajah—yang menerapkan taktik devide et impera untuk memecah-belah keluarga istana—hingga akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Afrika Selatan sampai akhir hayatnya.
Jejak Ulama Nusantara di Afrika
Menurut Azyumardi Azra dalam Muhammad Yusuf Al-Maqassari (2004), Yusuf merupakan perintis ketiga pembaruan ?slam di Nusantara pada abad ke-17 setelah Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Singkili (hlm. 259). Seperti diketahui, Yusuf adalah murid langsung Nuruddin ar-Raniri.
Penelitian Khoirul Badriyah bertajuk “Syekh Yusuf Taj Al-Maqassari 1627-1699: Studi Biografi dan Pemikirannya dalam Sufisme Nusantara Abad XVII” (2012) menyebut bahwa Yusuf menganut ajaran tasawuf beraliran Sunni dan sangat mematuhi ajaran Asy’ariyah (hlm. 62).
Teologi Asy’ariyah atau ahlussunnah wal jamaah dinilai mewakili golongan Islam tradisional dan menentang ajaran-ajaran yang dianggap sesat dalam Islam. Di sisi lain, terdapat pula aliran lain yang dianggap sebagai wakil Islam rasional, yakni Mu'tazila?.
Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan di Indonesia (2007) memaparkan, konsep utama tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari adalah pemurnian kepercayaan (akidah) pada keesaan Tuhan dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (hlm. 288). Yusuf menegaskan bahwa keesaan Tuhan itu tidak terbatas dan mutlak. Dan itulah yang wajib diimani umat manusia.
Yusuf membagi jenis orang beriman menjadi 4 golongan, yakni orang yang hanya mengucapkan syahadat tanpa benar-benar beriman (munafik), orang yang menanamkan syahadat dalam jiwanya (awam), orang yang benar-benar beriman dan merealisasikan iman mereka dalam kehidupan (elite), dan orang yang menyatakan syahadatnya dengan mengamalkan tasawuf untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan (yang terpilih dari golongan elite).
Dari keempat golongan tersebut, ungkap Khoirul Badriyah, Yusuf menegaskan bahwa ajaran tasawufnya hanya diperuntukkan bagi golongan ketiga dan keempat. Dan, baginya, seorang hamba Tuhan harus melaksanakan tasawuf selaras dengan syariat Islam (hlm. 66).
Syariat Islam yang dimaksud adalah hukum-hukum agama yang termaktub dalam Alquran, juga berpedoman pada Hadis. Yusuf meyakini pemikiran Junaid al-Baghdadi, ulama Sunni legendaris asal Persia, bahwa siapapun yang menginginkan bisa sampai kepada Allah maka harus mengikuti Nabi Muhammad secara lahir dan batin.
Ajaran seperti inilah yang terus didakwahkan Yusuf hingga saat diasingkan ke Afrika Selatan sejak 1693. Di tempat pembuangan terakhirnya itu, Yusuf justru memperoleh kedamaian hidup dan lebih leluasa dalam melakukan syiar Islam kepada penduduk setempat, dibantu murid-murid setianya.
Berkat Yusuf dan para pengikutnya, sebagian warga Afrika Selatan beralih menganut Islam. Mereka kawin-mawin dan beranak-pinak di situ, hingga terbentuklah komunitas Melayu di Cape Town yang kini menjadi ibukota Provinsi Western Cape.
Bekas area pengasingan Yusuf di Cape Town kemudian menjadi kota kecil bernama Macassar. Di kota seluas 28.85 km2 ini pun terdapat nama-nama jalan bernuansa Melayu, seperti Macassar Road, Kramat Road, atau Sheikh Yusuf Road.
Nama Syekh Yusuf Al-Makasari pun sangat membekas bagi warga Afrika Selatan. Nelson Mandela bahkan menyebut Yusuf sebagai “Putra Afrika, pejuang teladan kami”. Selain itu, sebagaimana diungkap Suryana Sudrajat dalam Ulama Pejuang dan Ulama Petualang: Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin (2006), Mandela juga menjadikan ulama asal Nusantara ini insipirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan apartheid (hlm. xiv).
Syekh Yusuf Al-Makasari wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699, tepat hari ini 319 tahun lalu. Atas permintaan Sultan Gowa, Abdul Jalil (1677-1709), jenazah Syekh Yusuf dipulangkan ke Makassar pada 1705. Kemudian jenazahnya dikebumikan di kompleks makam bangsawan di Lakiung yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Gowa.
Pada 7 Agustus 1995, Presiden Soeharto atas nama pemerintah RI menetapkan Syekh Yusuf Al-Makasari sebagai Pahlawan Nasional.
Baca juga artikel terkait SYEKH YUSUF AL-MAKASARI atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya