Home
/
Lifestyle

Virgil Abloh, Desainer Kecintaan Anak Hip Hop Tajir

Virgil Abloh, Desainer Kecintaan Anak Hip Hop Tajir
Kolumnis: 22 January 2019
Bagikan :

Virgil Abloh mungkin satu-satunya desainer fesyen yang menolak disebut desainer. Ia bahkan berani bicara blak-blakan bahwa masa depan mode tidak terletak pada model busana. “Model baju adalah hal terakhir yang dipikirkan orang,” katanya kepada Vikram Alexei Kansara, penulis Business Of Fashion, media fesyen yang tahun lalu menobatkan Abloh sebagai salah satu dari 50 orang yang berpengaruh di ranah mode.

Namanya melambung setelah Nike melansir The Ten, ragam model sepatu ikonik yang dimodifikasi ulang oleh Abloh, salah satunya Air Jordan. Kolaborasi tersebut mendapat respons yang sangat baik dari publik sampai-sampai Air Jordan versi Abloh jadi barang yang wajib dimiliki kolektor dan pecinta sneakers.

Abloh sebenarnya tak banyak mengubah model sepatu tersebut. Modifikasi dilakukan dengan menambah beberapa tulisan seperti "shoelashes" pada tali, "Air" pada bagian sol, mencatat tahun produksi pada badan sepatu, dan menggantungkan secara permanen sebuah benda oranye yang biasa digunakan untuk mencantumkan label harga pada barang dagangan toko. Hasil kolaborasi nampak sebagai barang yang biasa saja. Tak heran, beberapa pihak menganggap karya Abloh konyol, minim kreativitas, bahkan norak.

Telinga Abloh sudah kebal dengan cibiran semacam itu. Para pengkritiknya menganggap Abloh tak punya latar belakang fesyen yang mumpuni, karyanya dinilai kurang inovatif karena terlihat meniru benda fesyen yang sudah beredar di pasaran. Salah satu kritik paling keras datang dari Louis Wilson, mantan direktur program magister seni Central Saint Martins, London. Ia tak segan menyebut Abloh "bodoh" dan melarangnya sekolah mode di kampus tersebut.

Kenyinyiran Wilson muncul setelah mendengar ide Abloh yang ingin berupaya meleburkan batas antara seni komersil dan seni murni. Gagasan ini tak masuk akal bagi Wilson, tetapi selalu jadi api semangat Abloh. Buat Abloh, setiap produk yang ia ciptakan adalah bukti upaya ‘peleburan’ itu.


Maret tahun lalu, jurnalis Guardian Morwenna Ferrier bertanya alasan Abloh menampilkan benda serupa garis kuning polisi pada busana yang ia buat. Abloh bilang hal itu terinspirasi dari seniman Marcel Duchamp yang berkarya dengan prinsip bahwa seni bisa tercipta dari benda-benda yang ditemukan di sekitar kita. Kalangan seni menyebutnya "Ready-made".

“Duchamp favoritku,” kata Abloh sebagaimana ditulis Kansara dalam "Virgil Abloh: I’m Not a Designer”.

Di benak Abloh, benda sehari-hari itu bisa berarti beragam produk yang tercipta dari sebuah subkultur yang ia idolakan, yakni hip hop dan skateboard.

Abloh lahir dari orangtua berdarah Ghana, Afrika. Kedua orangtuanya migrasi ke Chicago, Illinois demi mewujudkan keinginan tinggal di negara adidaya. Pria yang lahir dan besar di AS ini melewati masa remaja hingga dewasa dengan menikmati hip-hop, berpakaian layaknya penyanyi hip hop, melewati waktu luang dengan bermain skateboard dan nongkrong bersama pecinta skating, juga mengidolakan sosok skena streetwear underground seperti Aaron Bondaroff.

“Sebenarnya dari dulu aku suka berkesperimen dengan desain grafis dan sablon. Tahun 2005 aku berkolaborasi dengan teman dalam menjual kaus bermotif karyaku. Beberapa tahun kemudian, aku mengusulkan diri untuk mendesain ulang jaket almamater SMU. Setelah itu aku coba jadi kurator film tentang fesyen. Lewat film, aku ingin memperlihatkan kalangan borju New York yang berkecimpung di dunia mode tapi memperlihatkan desain streetwear. Ternyata dampaknya cukup besar,” kata Abloh dalam Hypebeast.  


Infografik Virgil Abloh


Usai meraih gelar master ilmu arsitektur dari Illinois Institute of Technology, ia malah termotivasi jadi pebisnis mode. Tekadnya membulat setelah melihat karya desainer Riccardo Tisci yang terinspirasi kultur hip hop. Abloh pun mendirikan label Pyrex Vixion dengan produk andalan berupa kaus, celana, dan ransel polos yang disablon dengan tulisan “Pyrex”.

Label ini makin dilirik setelah Abloh memutuskan membeli kemeja flanel lansiran label Ralph Lauren yang tidak laku di pasaran, menyablonnya dengan logo “Pyrex”, dan menjual dengan harga berkali-kali lipat lebih tinggi. Publikasi NSS menganggap cara ini meniru metode jualan ala Dapper Dan, desainer baju asal Harlem.   

 

Bikin Baju Aneh, Mahal, dan Diminati

Pyrex Vision tidak membuat Abloh puas. Ia melihat bisnis streetwear di New York pada awal 2010-an yang umumnya tak berumur panjang. Ketimbang memikirkan strategi bertahan, ia memilih membuat label busana baru di ranah adibusana. Sejak itu lahirlah label Off White pada 2014 dengan koleksi pertama bertajuk "Youth Will Always Win".

Publik bisa saja mengernyitkan dahi melihat berbagai jaket hoodie dengan lengan berhias sablonan serupa bentuk zebra cross. Namun ternyata keanehan itu malah dicintai publik. Off White seketika populer di media sosial dan digandrungi anak muda kaya.

“Kepopuleran itu muncul karena aku punya gaya yang mirip dengan konsumerku. Sesederhana itu,” kata pria dengan 3.8 juta pengikut di akun Instagramnya.

Seiring waktu, Abloh memperluas nuansa desain Off White dengan memasukkan jenis busana yang setidaknya lebih bisa diterima kaum awam seperti blazer, kemeja, dan rok. Busana-busana tersebut dikemas dalam gaya dekonstruktif yang diantaranya terwujud dalam potongan busana asimetris.

Setahun setelah mendirikan Off White, Abloh menerima penghargaan dari raksasa retail premium Louis Vuitton Moet Hennessy (LVMH). Praktis ia menjadi desainer AS pertama yang memenangkan penghargaan tersebut. Sejak itu, Abloh mendapat berbagai tawaran kolaborasi. Selain Nike, ia bekerjasama dengan Converse, Rimowa, sampai seniman Takashi Murakami. Tiap karyanya selalu dipromosikan di media sosial. Ia kerap mengunggah proses pembuatan karya dan juga aktivitasnya seperti mengunjungi berbagai galeri seni independen dan momen saat dirinya tengah jadi DJ.


Tak heran, dunia mode dua tahun belakangan bagai terkena 'wabah Abloh'. Orang mulai terbiasa dengan barang-barang seperti sepatu yang bertuliskan ‘FOR WALKING’, jeans berlabel ‘HAND MADE’, dan legging bertuliskan “LEGGINGS”.

Ketenaran Abloh dan kesadaran LV terhadap tingginya minat publik terhadap produk streetwear berakar hip hop, membuat Louis Vuitton menawari sang desainer untuk jadi direktur kreatif busana pria. Tahun lalu, Abloh meluncurkan koleksi pertama pada ajang Paris Fashion Week. Untuk pertama kalinya sejumlah pesohor yang duduk di barisan depan mengenakan sweater dan sweatpants. Lewat produk seperti jas hujan metalik dan tas tangan berhias rantai plastik dengan warna mencolok, Abloh seketika melepaskan Louis Vuitton dari kesan elegan, mapan, dan dewasa.

Pada 17 Januari lalu, Abloh memamerkan koleksi Louis Vuitton musim dingin 2019 yang terinspirasi video klip Billie Jean, lagu milik Michael Jackson. Kali ini ia membuat terobosan dengan memodifikasi speedy bag dan sneakers yang didesain agar bersinar dalam gelap.

“Anak-anak muda benar-benar mengidolakannya. Ia bisa meleburkan batas antara desainer elite dan kaum muda,” kata Fraser Cooke, direktur senior Nike.
Baca juga artikel terkait TREN FASHION atau tulisan menarik lainnya Joan Aurelia

populerRelated Article