Home
/
Lifestyle

Toxic Family, Ketika Sikap Anggota Keluarga Terasa Mencekik

Toxic Family, Ketika Sikap Anggota Keluarga Terasa Mencekik
Kolumnis: 21 March 2019
Bagikan :

Gambaran keluarga harmonis nan suportif antar-anggotanya menjadi idaman banyak orang. Begitu pula kehidupan pernikahan yang memompa kesejahteraan individu. Namun, kenyataannya, tidak semua orang beruntung mengecap hal-hal seperti itu.

Sejak masih kanak-kanak, beranjak dewasa, atau ketika membentuk rumah tangga sendiri, sebagian orang dihadapkan dengan anggota keluarga yang malah menghambat perkembangan dirinya. Situasi keluarga yang demikian dikenal sebagai dysfunctional atau toxic family. Sikap-sikap beracun dari anggota keluarga dapat ditemukan dalam relasi suami dan istri, orangtua dan anak, maupun antar-saudara kandung dan kerabat.

Ada sejumlah tanda suatu situasi berubah dari "drama" keluarga yang masih tergolong lumrah menjadi toxic family. Saat seseorang merasa cemas, sedih, dan marah setiap kali memikirkan akan berinteraksi dengan anggota keluarganya, atau saat tidak ada hal positif yang didapat dari interaksi tersebut, hal ini dapat mengindikasikan adanya situasi toxic family.

Secara umum, dalam sebuah hubungan termasuk relasi keluarga, situasi tidak sehat berakar dari permasalahan komunikasi dan penerapan batasan-batasan yang jelas. Di samping itu, hal ini dapat tersirat pula dari pola perilaku pihak-pihak yang terlibat.

Dilansir Science of People, orang-orang "beracun" terlihat suka mengatur hidup orang lain; gemar menonjolkan dan mengutamakan dirinya sendiri atau menunjukkan sikap narsisis; selalu berpandangan negatif dan membuat situasi menjadi pesimis atau suram; senang menciptakan drama dan mencari-cari hal yang salah dari sesuatu; mudah cemburu dan menghakimi; suka memanipulasi atau berbohong; juga sering mengabaikan perasaan dan pandangan orang lain serta selalu merasa paling benar.

Perlakuan Buruk Antar-Pasangan

Di samping gambaran umum orang-orang ‘beracun’ tadi, dalam konteks rumah tangga, hubungan tidak sehat dapat terlihat dari adanya pembatasan akses atau kebebasan oleh satu pihak terhadap yang lainnya. Sebagai contoh, seorang istri tidak diizinkan untuk beraktivitas di luar rumah oleh sang suami dengan alasan takut selingkuh. Contoh lain, seorang istri kerap curiga, sering mengecek gawai suami sebagai wujud rendahnya kepercayaan terhadap suaminya itu.

Menurut G. Stephen Renfrey, penulis buku The One Year Marriage: A Formula for Enduring Love, perasaan takut yang membuat seseorang mengontrol pasangannya berkaitan dengan ketidakamanan dan ketergantungan—baik ketergantungan secara finansial maupun emosional. Kecenderungan mengontrol akan semakin kuat ketika seseorang memiliki pasangan yang lebih suka mengalah atau tipe penghindar konflik.

Sikap mendahulukan pasangan agar dirinya terus bisa diterima menjadi pemicu situasi rumah tangga tak sehat karena artinya, seseorang mengorbankan hal-hal yang membentuk dirinya sendiri: nilai-nilainya, keinginan, relasinya dengan orang-orang lain, bahkan mungkin identitasnya.

Tidak semua orang memperlihatkan sikap mengontrol secara gamblang. Ada orang yang memilih sikap pasif-agresif untuk mewujudkan dominasinya terhadap pasangan. Di hadapan pasangannya, orang tersebut berkata ya, sementara tindakannya menunjukkan hal sebaliknya. Segala macam taktik halus bisa mereka lakukan untuk menyabotase keinginan, kebutuhan, atau rencana si pasangan.
 
Di lain sisi, ada orang-orang yang tidak terima dengan sikap mengontrol pasangan, tetapi masih saja bertahan dalam pernikahan. Alhasil, pertengkaran nyaris tak berkesudahan menjadi tidak terhindarkan. Menurut data Pengadilan Agama yang dikutip dalam CATAHU Komnas Perempuan 2018 (PDF), hal ini menjadi penyebab perceraian tertinggi pada 2018 dengan total 140.375 dari 335.062 temuan.


Saat Anak Dicekoki Orangtua Hal yang Merusak Dirinya

Tanggung jawab yang diletakkan di pundak orangtua untuk membesarkan anak kerap memberi mereka hak untuk mengarahkan si anak sesuai kehendak mereka. Tidak semua orangtua membimbing anak dengan mempertimbangkan apa yang diinginkan atau dibutuhkan si anak sendiri. Sebagian dari mereka meletakkan keinginan mereka sendiri di atas kepentingan si anak atas nama "kebaikan untuk anak".

Sikap mengkritik tanpa henti, mengancam, dan kerap mengucapkan hal-hal buruk tentang anak merupakan ciri pertama orangtua "beracun". Berapa kali pun anak mencetak prestasi, setinggi apa pun capaiannya, tidak ada apresiasi yang keluar dari orangtua macam itu selama tidak sesuai dengan keinginan mereka. Giliran si anak melakukan kesalahan, hujan cemooh dan hukuman dari orangtua yang menanti dirinya.

Di sisi lain, sikap terlalu memanjakan dan selalu mengikuti kemauan anak juga bisa merusak anak. Ketiadaan batasan yang ditunjukkan dalam pola pengasuhan orangtua membuat anak merasa di konteks lain pun, ia patut menjadi pusat perhatian, terpenuhi setiap kemauannya, bahkan berpikir superior dibanding orang-orang sekitarnya.

Berikutnya, tanda orangtua beracun terlihat dari diri mereka yang sulit sekali atau bahkan tidak bisa menerima kondisi atau keputusan anaknya. Dimuat The New York Times, psikiater Richard Friedman bercerita, suatu hari salah seorang pasiennya yang berusia 20-an datang dalam kondisi depresi. Setelah menggali pengalaman si pasien, Friedman mengetahui bahwa salah satu pemicu gangguan psikis pasiennya itu adalah penolakan dari orangtuanya setelah ia mengaku gay.

“Pada suatu makan malam [setelah pengakuan si pasien], ayahnya mengatakan kepada dia bahwa lebih baik kalau dia saja yang meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu daripada saudaranya,” tulis Friedman.


Orangtua yang sering mengabaikan anak pun tergolong orangtua beracun. Pengabaian dapat terjadi baik karena kesibukan kerja, tekanan dalam proses pengasuhan, masalah keuangan, atau hal lainnya. Alasan apa pun yang mendasari hal tersebut, kebutuhan emosional anak tidak akan tercukupi sehingga berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya kelak.

Sikap beracun yang ditunjukkan orangtua dapat berhubungan dengan aneka faktor, satu di antaranya adalah nilai-nilai budaya yang dipegang dalam keluarga, misalnya terkait peran gender, pola pengasuhan, serta pembagian hak bagi setiap anggota keluarga. Faktor lainnya adalah pengulangan sikap beracun yang pernah diterima si orangtua dari ibu-bapaknya sendiri.


Potensi Menjadi Sosok yang ‘Toxic

Dalam sebuah studi yang dimuat di Journal of Family Medicine and Disease Prevention, dikatakan ada berbagai konsekuensi negatif yang bisa dirasakan seorang anak yang pernah menghadapi keluarga disfungsional. Ketika bertumbuh dewasa, ia bisa memiliki kecenderungan untuk berperilaku merusak diri seperti penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol sebagai bentuk pelarian dari trauma masa kecilnya.

Selain itu, ia mungkin saja memiliki penilaian diri yang rendah di kemudian hari, merasa terus menerus cemas dan gugup, kehilangan kendali, atau berulang kali menyangkal perasaan-perasaannya. Penumpukan emosi negatif dalam jangka panjang bisa berimbas penurunan kondisi mental seseorang. Ketika hal ini terjadi, produktivitas dan hidup yang sehat menjadi sulit diwujudkan olehnya.

Terkait hubungan antar-personal, anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsional dapat mempunyai masalah kepercayaan terhadap orang lain hingga akhirnya sulit menjalin relasi. Seiring berjalannya waktu dan berulangnya perlakuan-perlakuan buruk dari keluarga, anak tersebut berpotensi melakukan kembali tindakan beracun yang pernah diterimanya kepada orang lain. Dengan kata lain, ia bisa saja tumbuh dan mengembangkan sikap-sikap toxic di kemudian hari.

Dalam konteks suami-istri, hubungan tak sehat yang terjalin akan berefek pada bagaimana mereka menjalani peran sebagai orangtua. Kecenderungan seseorang untuk menutupi perlakuan buruk pasangannya dari keluarga besar atau kenalan lainnya pada akhirnya dapat membuat ia semakin kesepian, terisolasi, bahkan jatuh sakit karena perubahan pola makan dan tidurnya.

Waktunya Mendahulukan Kebahagiaan Diri

Karakter masyarakat kita yang cenderung kolektif dan meletakkan keluarga, pernikahan, atau orangtua di tempat tinggi membuat sebagian orang kesulitan keluar dari situasi toxic family. Dalam berbagai ajaran agama, melawan orangtua dianggap sebagai dosa sehingga banyak anak yang memilih menurut sekalipun sikap orangtua menyakiti mereka.

Menentang kehendak suami dipandang tabu, mengonfrontasi sikap beracun istri dapat memicu pertikaian dan perceraian yang setengah mati ingin dihindari sebagian suami. Bercerita kepada orang lain tentang toxic family yang sedang dihadapi seseorang juga berpeluang membuatnya disalahkan. Ekornya, orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa kecuali bergeming dan berharap anggota keluarga beracun yang dihadapinya suatu saat berubah.

Infografik Toxic Family
Preview


Alih-alih mendiamkan keadaan, sejumlah pakar psikologi menyarankan orang dalam toxic family untuk mengambil tindakan berani demi kebahagiaannya sendiri. Salah satunya adalah dengan mengambil jarak serta berhenti menanggapi mereka. Bagi sebagian orang, pilihan ini menimbulkan pertanyaan, “Tidakkah saya berlaku sama dengan anggota keluarga toxic yang juga sering mengabaikan saya?”. Bagi psikolog keluarga dan penulis Dr. Sherrie Campbell, itu berbeda.

Dalam bukunya, But It’s Your Family…: Cutting Ties with Toxic Family Members and Lovinng Yourself in the Aftermath, ia menyatakan saat anggota keluarga yang toxic mendiamkan seseorang, ia membuat orang itu merasa terasing, tersakiti, tidak aman, serta ditinggalkan. Namun, bila yang bersangkutan bertindak serupa setelah menerima perlakuan buruk anggota keluarganya, hal tersebut ia lakukan dengan tujuan melindungi dirinya sendiri serta berusaha melanjutkan hidup dengan lebih baik.

Sikap beracun yang ditunjukkan anggota keluarga bisa saja tergolong kekerasan psikis. Sehubungan dengan hal ini, konstitusi Indonesia sudah menjamin hak tiap warga untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dari keluarganya melalui UU PKDRT (PDF).

Dalam pasal 7 disebutkan kekerasan psikis mencakup perbuatan yang menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Jika hal ini terjadi, mengadvokasi diri lewat jalur hukum dapat dilakukan.

Meninggalkan anggota keluarga beracun tentu membutuhkan perencanaan juga. Misalnya, istri yang hendak meninggalkan suami atau anak yang mau keluar dari rumah orangtua.

Karena itu, membangun jaring pengaman adalah hal penting yang mesti dilakukan selepas keluar dari toxic family: apakah ada anggota keluarga lainnya atau teman-teman yang dapat memberi dukungan moral atau material sesuai yang dibutuhkan nantinya.

Selain itu, mencari bantuan profesional untuk pemulihan kondisi mental juga dapat dipertimbangkan seseorang ketika akan atau setelah menyetop relasi dengan anggota keluarga beracun.
Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan menarik lainnya Patresia Kirnandita

populerRelated Article