Home
/
Film

Star Wars: The Last Jedi: Bukan Cuma Jualan Laga

Star Wars: The Last Jedi: Bukan Cuma Jualan Laga
Terry Muthahhari17 December 2017
Bagikan :

The Last Jedi bercerita tentang pertarungan antara kelompok pemberontak (Resistance) yang dipimpin oleh Leia Organa (almarhum Carrie Fisher) melawan pemerintahan tirani berbasis militer (First Order) dibawah komando Supreme Leader Snoke (Andy Serkis). Setelah kejadian di Star Wars: The Force Awakens (2015), kelompok pemberontak masih berada di ujung tanduk; kalah jumlah pasukan petarung maupun teknologi senjata.

Harapan disematkan kepada Rey (Daisy Ridley), pemulung dari Planet Jakku, yang memiliki asosiasi kuat dengan energi Force. Terpisah dari armada Resistance, Rey sedang berada di sebuah pulau terpencil untuk ngelmu pada Jedi dengan kesaktian melegenda, Luke Skywalker (Mark Hamill). Sementara itu, Kylo Ren (Adam Driver), calon penerus raja kegelapan Darth Vader, masih berusaha pulih setelah konfrontasi dengan Rey.

The Last Jedi berhasil mengkombinasikan adegan-adegan aksi yang heboh dengan berbagai cerita manusia yang membangkitkan emosi. The Last Jedi bukan hanya bercerita soal kisah klasik mengenai perang berkepanjangan antara simbol harapan pasukan Resistance melawan kegelapan yang dibangun dan terus dipertahankan oleh First Order. Ia justru merajut tema besar ini dengan karakterisasi yang mengangkat sisi manusia para pahlawan dan mereka yang mendukung kegelapan.

Ini adalah sebuah dongeng soal sekelompok manusia yang terombang-ambing mencari identitas diri ketika perang terlanjur menjadi santapan sehari-hari.

Baca juga: Adam Driver, Star Wars, dan Teater untuk Tentara

Dinamika antara adegan laga dan eksplorasi emosi dari para karakter yang ciamik membuat penonton di bioskop yang saya hadiri bersorak meriah, bertepuk tangan untuk kemudian diam, lalu tiba-tiba kembali tepuk tangan. Memang bioskop jadi ribut, tapi rangkaian ketegangan dan misteri yang dibangun oleh film yang disutradarai oleh Rian Johnson ini membuat pengalaman menonton yang hening dan nihil ekspresi emosi seakan jadi pengalaman yang justru ingin Anda dihindari.

Sebagai sebuah sekuel Star Wars, The Last Jedi berhasil mengembangkan pondasi cerita dan karakter yang segar dan kuat. Untuk ke depan, nampaknya takkan jadi masalah jika saga berumur 40 tahun ini ingin melepas para karakter klasik (dan sejarahnya) seperti Leia, Han Solo, maupun Luke Skywalker. Pada saat yang sama, secara elegan sutradara tetap mempertahankan ciri khas film Star Wars mulai dari tensi cerita yang langsung tinggi, pertarungan lightsaber, perang antariksa yang panjang namun tak membosankan, dan figur pahlawan yang jamak.

Pergerakan kamera yang kontinu dan dinamis berhasil menangkap teater pertarungan lightsaber di antara pihak-pihak yang mengendalikan energi Force. Elemen teknis ini berhasil membalut adegan aksi penuh nostalgia dengan bumbu ketegangan yang tak berujung (dan juga memunculkan perasaan ingin mengeluarkan uang untuk membeli replika lightsaber).

Namun, pencapaian terbesar Force Awakens terletak pada karakterisasi. Kylo Ren, Rey, dan Luke semuanya diberikan waktu yang cukup untuk mengeksplorasi dilema identitas masing-masing; sisi yang gelap maupun terang. The Last Jedi meracik dilema ideologis dengan motivasi personal untuk menciptakan detail karakter yang unik dan kompleks.

infografik star wars the last jedi
Preview


Akibatnya, para karakter kunci harus mengambil keputusan yang tidak hanya akan menentukan nasib orang lain namun juga  pada pilihan identitas mereka—pahlawan, penjahat, monster—yang memiliki berhubungan erat dengan masa lalu.

Kylo Ren misalnya, tidak lagi sekedar menjadi karakter antagonis yang semata-mata menjiplak ambisi Darth Vader. Masa lalunya yang unik menjadikan Kylo Ren memiliki alasannya sendiri untuk menyelimuti diri dengan kemarahan dan kebencian dan akhirnya menjadi pejuang di kubu dark side.

Sementara itu, Rey tidak digambarkan sebagai karakter pahlawan yang sempurna. Rian Johnson seakan ingin menunjukkan bahwa terkadang overdosis idealisme dapat berujung pada kenaifan yang patut ditertawakan. The Last Jedi juga berani bereksperimen dengan karakter Luke Skywalker sebagai seorang Jedi legendaris.

Tokoh yang sebenarnya sudah memiliki cerita yang kaya di saga Star Wars tetap berhasil dipermak sedemikian rupa yang menjadikannya tidak hanya sekedar berfungsi sebagai  sumber nostalgia. Untuk itu, jangan kaget jika nanti anda bingung menentukan Luke di Star Wars episode mana yang menjadi favorit Anda.

Baca juga: Star Wars: The Last Jedi Raup Pendapatan Premier Global $425 Juta

Namun, fokus yang signifikan terhadap pembangunan karakter Kylo, Luke, dan Rey juga menjadi salah satu alasan yang membuat The Last Jedi tak sempurna. Karakter seperti Finn (John Boyega), mantan pasukan militer First Order yang berhasil kabur, baru pada babak ketiga film diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya telah ada semenjak The Force Awakens.

Begitu juga karakter Poe Dameron (Oscar Isaac), pilot pesawat tempur pasukan pemberontak yang selama jalannya film membuat frustasi karena terus mengulang kesalahan yang sama hanya untuk tiba-tiba berubah sebagai sosok yang bijak pada akhir film.

Walaupun begitu, Sutradara Rian Johnson tetap patut diberikan kredit karena berhasil menciptakan sebuah kisah Star Wars yang penuh laga namun tak meninggalkan pentingnya pembangunan cerita melalui karakterisasi yang kuat dan mendetail pada karakter kunci. Melalui dilema karakter yang kompleks, The Last Jedi membuat Anda secara aktif berimajinasi mengenai kriteria yang membuat seseorang menjadi pahlawan atau penjahat. Kekaburan batas antara baik dan buruk membuat The Last Jedi semakin lengkap.

Alasan ini juga yang membuat Adam Driver menikmati dan mengerti sosok Kylo Ren dari sisi berbeda.  “Aku sangat menikmati memainkan peran ini karena aku sendiri tidak mengetahui apa yang menjadikan seseorang benar-benar jahat” kata Adam kepada ABC News. “Aku tidak merasa Kylo merasa dirinya jahat, ia justru merasa dirinya benar”

Sutradara Rian Johnson memang bukan sutradara nihil pengalaman. Pada tahun 2012, melalui film berjudul Looper yang dibintangi Joseph Gordon-Levitt dan Bruce Willis, Rian Johson mengubah film fiksi-ilmiah soal time traveling (yang terkadang penuh dengan elemen teknis) menjadi sebuah kisah yang menohok emosi. Ini dilakukan melalui karakterisasi yang mendalam; para karakter utama harus mengambil keputusan sulit yang akan menentukan identitas dirinya maupun kehidupan orang sekitarnya.

Hanya dengan budget 30 juta dolar AS, Looper sukses meraup pendapatan hampir 177 juta dolar AS. Untuk itu, tak salah jika Rian Johnson ingin mencoba mengulang formula sukses yang sama di The Last Jedi. Yang terakhir, jika ini adalah film Star Wars pertama yang Anda tonton, saya rasa Anda akan langsung ingin menonton film-film Star Wars sebelumnya setelah keluar dari bioskop.


Untuk itu, May the Force be with you.
Baca juga artikel terkait STAR WARS atau tulisan menarik lainnya Terry Muthahhari

populerRelated Article