Sepeda Motor Menyelonong Masuk Tol, Apa yang Salah?
Pada Minggu siang, 11 November 2018, lima remaja putri melakukan tindakan nyeleneh dan bernasib apes. Para remaja berusia antara 12-14 tahun yang berboncengan dengan dua motor itu bertabrakan dengan mobil karena melawan arus di ruas tol Jakarta-Tangerang, Tomang, Jakarta Barat.
Mereka mengaku hendak menuju daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Karena tidak tahu arah, mereka bertanya kepada seorang pengemudi ojek online. Petunjuk dari pengemudi ojek itu lantas mengarahkan mereka masuk ke tol Jakarta-Tangerang.
Menurut keterangan Kepala Satuan Lalu Lintas Wilayah Jakarta Barat AKBP Ganet Sukoco, dua motor yang ditumpangi para remaja itu melawan arus karena hendak berbalik arah mencari pintu keluar tol. Di tengah perjalanan mereka bertabrakan dengan mobil. Beruntung kelimanya selamat dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Kedoya, Jakarta Barat.
“Karena merasa salah jalan, akhirnya mereka berbalik arah dengan melawan arus dari arah barat ke timur sehingga kedua sepeda motor tersebut menabrak mobil yang melaju dari timur ke barat,” ujar Ganet dikutip Antara.
Kepolisian pun memanggil orangtua dari para remaja itu untuk diperiksa dan diberikan pengarahan, terkait kelalaian mereka membiarkan anak yang masih di bawah umur mengendarai sepeda motor. Ada beberapa pelanggaran yang dilakukan para remaja itu, yakni mengendarai motor tanpa surat izin mengemudi (SIM), melintas di jalan tol, berboncengan lebih dari dua orang, dan tidak memakai helm.
“Yang jelas anak-anak itu tidak boleh diizinkan mengendarai motor, juga harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada,” ujar pelaksana tugas Kepala Unit Lakalantas Jakarta Barat Ipda Suyudi.
Motor Masuk Tol Terus Berulang
Kasus pengendara sepeda motor masuk jalan tol sudah beberapa kali terulang. Pada November 2017, seorang pengendara sepeda motor nekat melintas di jalan tol Jagorawi arah Jakarta saat hujan mengguyur.
Pemotor yang mengendarai Suzuki Satria FU itu bahkan melaju kencang melewati mobil-mobil di depannya. Sial buat dia, permukaan jalan licin membuat ban motornya tergelincir dan pengendara tersungkur ke aspal. Bagusnya, dia tidak mengalami cidera parah.
Pada Juni 2018, pemotor yang mengendarai moped melintas di jalan Tol Jagorawi. Sebuah foto yang beredar di media sosial memperlihatkan motor itu melaju di jalur cepat. Kasus lainnya terjadi di Tol Pondok Gede, Jakarta Timur. Seorang pengendara dengan sengaja menerobos dengan cara membuntuti mobil di gerbang tol.
Mengendarai kendaraan roda dua di jalan tol merupakan bentuk pelanggaran lalu lintas. Larangan sepeda motor masuk tol terdapat pada Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang jalan tol. “Jalan tol diperuntukkan bagi pengguna yang menggunakan kendaraan roda empat atau lebih,” jelas peraturan tersebut.
PP Nomor 44 Tahun 2009 merevisi peraturan dalam PP Nomor 15 Tahun 2005. Di peraturan baru, ditambahkan satu ayat antara ayat 1 dan 2, yakni ayat 1(a) yang isinya, “Pada jalan tol dapat dilengkapi dengan jalur jalan tol khusus untuk kendaraan bermotor roda dua yang secara fisik terpisah dari jalur jalan tol yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih.”
Pasal 1(a) tersebut diterapkan dalam pembuatan jalan tol Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) dan tol Bali Mandara. Di kedua tol tersebut, terdapat jalur khusus sepeda motor yang dibuat terpisah dari jalur kendaraan roda empat atau lebih.
Namun, pelanggar bisa dijatuhi hukuman sesuai Pasal 287 ayat (1) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal tersebut mengatur, setiap pengendara yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan yang tidak boleh dilalui oleh kendaraan yang digunakan terancam sanksi kurungan penjara paling lama dua bulan atau denda Rp500.000.
Kasus sepeda motor masuk jalan tol tidak selalu dilakukan pengendara karena kesengajaan. Pada kasus-kasus tertentu, seperti yang dilakukan lima remaja di Jakarta Barat, mereka masuk tol karena tidak membaca rambu lalu lintas dan ketidakpahaman tentang aturan yang berlaku.
“Pengetahuan akan rambu lalu lintas jalan memang masih butuh sosialisasi kepada para pengguna jalan. Bahkan, untuk hal yang mendasar seperti ada berapa warna jenis rambu dan maknanya. Coba saja tanya 10 orang di sekitar kita. Amat boleh jadi, dari 10 orang yang ditanya akan amat minim yang tahu warna rambu ada lima, yaitu merah (larangan), kuning (hati-hati), biru (perintah), hijau (petunjuk informasi), dan coklat (informasi lokasi wisata/ruang publik seperti perpustakaan daerah),” jelas Edo Rusdyanto, Koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman) saat dihubungi Tirto.
Pengguna kendaraan dituntut untuk mencari tahu pemahaman seputar lalu lintas secara mandiri. Sebab, edukasi tentang lalu lintas tidak diberikan di sekolahan atau institusi pendidikan lain. “Tentu saja para pengguna jalan tak bisa mengandalkan 100 persen edukasi hal ini dari lini pendidikan formal. Harus sudi mencari sendiri. Walau, harapannya, edukasi mengenai hal ini hadir di ranah pendidikan formal maupun informal,” sebut Edo.
Edukasi ini tentu sebagian ada di tangan pemerintah khususnya kepolisian. Namun, para orangtua juga perlu mengedukasi keselamatan berkendara kepada anak sejak dini. Tujuannya, ketika anak bisa mengendarai kendaraan bermotor, mereka sudah memahami aturan lalu lintas dan menjunjung etika berkendara.
Pengajaran juga harus dibarengi dengan tauladan dari oran tua. Anak punya kecenderungan meniru perilaku orang tuanya. Jika orangtua melakukan perilaku buruk dalam berkendara, maka anak cenderung melakukan hal yang sama di masa mendatang. "Orangtua memberi teladan. Anak-anak akan meniru lingkungan, tentu saja yang paling dekat adalah keluarga,” kata Edo.
Baca juga artikel terkait OTOMOTIF MOTOR atau tulisan menarik lainnya Yudistira Perdana Imandiar