Sentuhan Teknologi yang Mempermudah Belajar Bahasa Isyarat
“Pada dasarnya, saya tuli”
Jerick Hartono, pendiri Volume Up!, organisasi penggerak komunitas tuna rungu, sangat menyadari punya banyak teman yang sama-sama mengalami hal serupa. Akhirnya, ia mempelajari bahasa isyarat agar komunikasi jadi lebih mudah. Jerick lantas mengembangkan aplikasi JakSL, aplikasi yang memudahkan siapa pun belajar BISINDO alias Bahasa Isyarat Indonesia.
Jerick, pemuda berusia 17 tahun, merupakan penyandang tuna rungu parsial dan menguasai BISINDO. Namun, hanya sedikit orang-orang tuna rungu yang memiliki keistimewaan bisa belajar BISINDO. Inilah yang jadi cikal bakal penciptaan JakSL agar “banyak orang Indonesia yang tidak memiliki akses belajar BISINDO” dapat belajar bahasa isyarat.
JakSL merupakan aplikasi berbasis sistem operasi Android. Keputusan Jerick membuat aplikasi ini karena tingkat adopsi jenis teknologi ini tinggi. Fitur utama JakSL merupakan video tutorial BISINDO, dari level 1 hingga level 2. Tutorial tersebut terangkai dalam beberapa kategori: alfabet, nama panggilan dan angka, hari dan warna, buah-buahan, hubungan antar manusia, hingga hubungan keluarga. Kesemua kategori dibuat untuk memudahkan penyandang tuna rungu ataupun orang-orang dengan pendengaran yang tak memiliki gangguan, mudah berkomunikasi satu sama lain.
Dalam kategori pembelajaran BISINDO, JakSL tidak sendirian. Di Google Play, toko aplikasi Google, ada aplikasi serupa. Misalnya i Sign: Belajar BISINDO. Aplikasi ini hampir serupa memberikan metode pelajaran bagi penggunanya: belajar BISINDO berbasis video. Dari data Google Play, aplikasi i Sign telah dipasang di lebih 10 ribu perangkat Android.
Selain aplikasi yang berupaya memberikan pengetahuan BISINDO bagi orang-orang tuna rungu, ada pula aplikasi Deaf Communicator. Deaf Communicator merupakan aplikasi yang membantu orang-orang tuli untuk mengetahui apa yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, aplikasi ini dapat digunakan bagi orang-orang tuli berkomunikasi dengan orang normal.
Wendy Liga, pembuat Deaf Communicator, mengatakan aplikasi tersebut dirancangnya agar “orang-orang tuli yang tidak bisa bicara, bisa mengeluarkan suara.” Aplikasi yang menurutnya merupakan tugas skripsi di STIKOM Dinamika Bangsa, Jambi itu, tengah terus dikembangkan.
Masalah Bahasa Isyarat
Penutur bahasa isyarat jumlahnya memang kecil. Data yang dipacak dari Ethnologue, lembaga yang mengkaji segala bahasa di dunia, memperkirakan terdapat lebih dari 4,8 juta penutur bahasa isyarat di seluruh dunia. Angka tersebut, merupakan 0,08 persen populasi penutur segala bahasa dunia. Bila dibandingkan dengan bahasa lain, penutur bahasa isyarat sangat minim. Penutur rumpun bahasa Austronesia, rumpun yang menaungi Bahasa Indonesia, ada lebih dari 345,8 juta penutur. Atau setara dengan 5,55 persen populasi dunia. Padahal, orang-orang penyandang tuli diperkirakan berjumlah jauh dibandingkan angka tersebut.
Laura Lesmana Wijaya, Direktur Pusat Bahasa Isyarat menyatakan bahwa Bahasa Isyarat Indonesia masih sedikit penuturnya, meskipun kian berkembang tiap tahun. Salah satu alasan mengapa angkanya kecil ialah masih adanya stigma negatif di masyarakat, salah satunya melalui olok-olok. Para penutur bahasa isyarat dianggap lain dan belajar bahasa isyarat dianggap hal yang patut dihindari.
Selain olok-olok, bahasa isyarat punya pertentangan lain: apakah bahasa isyarat merupakan bahasa atau bukan?
Dalam artikel yang dipublikasikan The New York Times pada 8 Januari 1992 disebutkan bahwa saat bahasa isyarat baru berusia 30 tahun diakui bagian dari bahasa di dunia. Salah satu alasan mengapa bahasa isyarat diakui sebagai bagian dari bahasa karena tidak memiliki literatur, tapi sayangnya, mengacu pada literatur bahasa konvensional.
Bahasa isyarat di tahun-tahun sebelum artikel tersebut terbit sering dianggap sebagai "pantomim". Dr. Sherman Wilcox, ahli bahasa dari New Mexico University, mengatakan ia “sering kali harus meyakinkan masyarakat bahasa isyarat bukan pantomim ataupun tebak kata.”
Ursula Bellugi, neurosains dari Salk Institute, tegas mengatakan bahasa isyarat juga merupakan bahasa. Alasannya, bahasa isyarat memiliki tata bahasa dengan caranya sendiri. Bahasa isyarat tidak asal merepresentasikan, misalnya, huruf A dengan isyarat seenak hati penuturnya. Segala simbol gerakan yang menjadi inti bahasa isyarat memiliki padanannya dalam bahasa konvensional.
“Bahasa isyarat merupakan bahasa visual 3D,” tegas Dr. Roselyn Rosen, peneliti dari Gallaudet University Washington.
Bahasa isyarat sama seperti bahasa konvensional, memiliki banyak turunan. Di Indonesia, sebagaimana dituturkan Laura, ada banyak macam bahasa Isyarat. Namun, di dunia Bahasa Isyarat Amerika yang berjaya. Diperkirakan, ada 500.000 orang yang jadi penutur bahasa isyarat ini.
Alasan mengapa Bahasa Isyarat Amerika populer, ada tren bahwa jenis bahasa ini “cool” bagi kalangan muda Amerika Serikat. Pada 1996, ada 90.000 pelajar yang mendaftar mengikuti kelas bahasa isyarat, meningkat dari hanya 4.304 pendaftar di 1995.
“Beberapa pelajar mendaftar kelas bahasa isyarat karena mereka telah mengambil kelas bahasa Spanyol atau Perancis di sekolah menengah, dan sialnya, itu merupakan pengalaman buruk dan berharap belajar bahasa isyarat akan menjadi lebih baik dan menyenangkan,” papar Amy Ruth McGraw, pengajar pada University of Iowa.
Selain dianggap sebagai sesuatu yang “cool,” bahasa isyarat dianggap pula memiliki prospek yang cerah. Kebutuhan penerjemah bahasa isyarat bersertifikat tinggi. Bagi profesi ini, per jam, penerjemah bisa dibayar $40 hingga $60. Ini yang membuat salah satu jenis bahasa tersebut diminati. Namun, pada hakekatnya bahasa isyarat adalah kebutuhan bagi mereka yang mengalami kekurangan juga sebaliknya, dan teknologi aplikasi semakin mempermudahnya.
Baca juga artikel terkait TUNA RUNGU atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin