Home
/
Digilife

RUU TNI Disahkan: Apa Dampaknya Jika Militer Masuk Ruang Digital?

RUU TNI Disahkan: Apa Dampaknya Jika Militer Masuk Ruang Digital?

Aisyah Banowati21 March 2025
Bagikan :

Uzone.id – Revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah resmi disahkan menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada, Rabu (20/3). Diketahui bahwa tugas TNI dalam Pasal 7 (2) huruf b berbunyi, “Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber”. 

Disahkannya UU TNI ini kemudian mendapat kritik keras dari berbagai pihak. Bahkan, jauh sebelum resmi menjadi UU, banyak pihak sudah menentang ide tersebut, termasuk organisasi masyarakat sipil yang fokus memperjuangkan hak digital, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). 

Dalam unggahan yang dibagikan lewat situs resmi SAFEnet, salah satu poin yang mereka soroti yakni mengenai perluasan kewenangan TNI di ruang digital. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk militerisasi ruang siber, Senin (17/3).



SAFEnet menilai bahwa narasi ini berbahaya terhadap hak-hak digital masyarakat Indonesia sebab penafsirannya sangat luas dan rentan disalahgunakan. 

“Jika dimensi virtual dan kognitif dari ancaman siber dipandang sebagai ancaman eksistensial, negara dapat menjadikannya justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). 

Narasi ancaman “Perang Siber” dengan negara lain dapat dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis dan meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital dengan cara pengawasan massal yang merupakan pelanggaran hak atas privasi, penyensoran konten/situs web yang merupakan pelanggaran hak atas informasi, dan pengetatan regulasi terkait ekspresi daring yang merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi.”


Dalam hal ini, SAFEnet melihat bahwa pemerintah mereduksi ancaman siber semata-mata sebagai ancaman terhadap negara dan militer dibanding melihatnya sebagai masalah yang lebih luas dan kompleks. 

Padahal, ada yang jauh lebih mendesak untuk dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI, yakni pengaturan mengenai tanggung jawab korporasi digital yang seringkali memfasilitasi manipulasi opini publik, serta percepatan pembahasan peraturan turunan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar segera berlaku efektif. 

Peraturan-peraturan tersebut akan memberikan dampak nyata dan manfaat langsung bagi warga negara, jauh melebihi manfaat dari perluasan kewenangan militer.



Selain itu, hasil dari Revisi UU TNI ini turut membuka kesempatan kepada prajurit aktif militer untuk menduduki jabatan sipil turut menjadi ancaman baru terhadap penghormatan hak digital warga. 

Dengan adanya ketentuan baru ini, militer berpotensi mengisi posisi-posisi kunci di lembaga-lembaga yang mengawasi ruang siber, termasuk Kementerian Komunikasi dan Digital. Hal tersebut dinilai berisiko menghasilkan kebijakan siber yang kental nuansa militer yang kerap bertentangan dengan nilai HAM.

Penolakan keras UU TNI yang disuarakan oleh DDRN





Bukan hanya SAFEnet, penolakan juga disuarakan dengan keras oleh Digital Democracy Resilience Network (DDRN)—koalisi masyarakat sipil yang fokus pada isu demokrasi digital Indonesia. DDRN bahkan telah menolak Revisi UU TNI sebelum UU disahkan, tepatnya pada saat Komisi I baru menyetujui draft final RUU TNI.

Mirip seperti apa yang menjadi keresahan terbesar SAFEnet, DDRN menyoroti perluasan fungsi TNI pada Pasal 7 ayat 2b mengenai operasi militer selain perang (OMSP). Rumusan pasal tersebut dianggap bersifat karet dan berpotensi disalahgunakan.

“Rumusan pasal ini bersifat karet dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militer ruang siber. Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi ekspresi daring.”

Pertentangan keras ini didasari sebab tidak adanya definisi hukum di level UU yang baku dan jelas mengenai apa itu “Ancaman Siber” dan “Pertahanan Siber”. Hal tersebut kemudian menimbulkan banyak poin yang meresahkan bagi DDRN, sebagai berikut:


  1. Perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi negara untuk mengambil kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil. Beberapa di antaranya seperti pembatasan informasi, penurunan konten, pemblokiran website, hingga pengetatan regulasi ekspresi online dengan dalih ancaman propaganda asing.

  2. Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber secara holistik dan komprehensif dan memandang ancaman siber sebagai ancaman terhadap negara dan militer. 

  3. Perluasan peran TNI juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan UU No.1 Tahun 2024 tentang UU ITE dan RUU KSS.

  4. Perluasan jabatan sipil terkait ruang siber yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif merupakan ancaman nyata bagi prinsip supremasi sipil dalam konteks tata kelola siber.


populerRelated Article