icon-category Sport

Profil 4 Juara Dunia Formula E: Gagal di F1, Jaya di E-Prix

Formula E musim kelima akan segera dimulai. Setidaknya, akan ada 13 kali balapan pada musim 2018/2019 ini, di mana gelaran E-prix seri pembuka adalah di Ad Diriyah, Arab Saudi, pada 15 Desember 2018.

Faktanya, dari empat musim penyelenggaraan Formula E, belum ada satu pun pebalap yang mampu mempertahankan gelar juaranya. Namun, mereka punya satu kesamaan, yakni sama-sama mantan pebalap Formula 1 (F1) yang gagal berjaya di ajang jet darat itu.

Siapa saja mereka? Berikut profilnya.

1. Nelson Piquet Jr.

Juara musim perdana Formula E adalah anak dari pebalap legendaris F1, Nelson Piquet. Nelson Piquet Jr. sendiri mengawali debutnya di F1 pada tahun 2008 bersama ING Renault F1 Team, satu tim dengan Fernando Alonso.

Balapan perdananya adalah di Grand Prix (GP) Australia 2008, di mana pebalap kelahiran 25 Juli 1985 ini gagal finis. Namun, Nelson sempat membuat kejutan dengan finis kedua di Sirkuit Hockenheimring, Jerman, pada tahun yang sama.

Nelson cukup baik pada tahun perdananya dengan bertengger di posisi ke-12 klasemen dari total 22 pebalap yang ikut serta. Akan tetapi, terdapat kontroversi yang mencoreng kariernya di F1. Kecelakaan yang dialaminya di GP Singapura 2008 disinyalir adalah sebuah kesengajaan, team order, guna memuluskan Alonso menjadi pemenang dari balapan malam perdana di negeri singa.

Setahun berikutnya, tidak cukup baik. Dari total 17 balapan, pebalap kelahiran Heidelberg, Jerman Barat, itu hanya ikut balapan F1 hingga seri ke-10 di Hungaria tanpa mencetak satu poin pun. Oleh karena itu, ia didepak Renault, diganti oleh sang pebalap tes, Romain Grosjean.

Selepas dari F1, ia bertualang ke beberapa kejuaraan, seperti NASCAR, Rallycross, dan lainnya. Hingga akhirnya, Nelson bergabung dengan tim China Racing (atau NEXTEV) yang bekerja sama dengan Renault.

Ia bersaing ketat dengan mantan pebalap F1 lainnya, Sebastian Buemi dan Lucas di Grassi. Pada akhirnya, Nelson Piquet Jr. sukses menjadi juara perdana Formula E, unggul satu poin atas Buemi dan 10 poin atas Di Grassi. Nelson mencatatkan dua kemenangan E-prix, di Long Beach, Amerika Serikat dan Moskow, Rusia.

Akan tetapi, pada musim-musim selanjutnya, Nelson Piquet Jr. lebih akrab menjadi pebalap yang bersaing di papan tengah klasemen, alih-alih bertarung memperebutkan gelar juara dunia. Selain dua kemenangan yang disebutkan tadi, ia belum pernah lagi memenangkan E-prix. Pada musim 2018/2019, ia akan berada di tim Panasonic Jaguar Racing, satu tim dengan pebalap asal Selandia Baru, Mitch Evans.

2. Sebastien Buemi

Secara prestasi di F1, Buemi tak lebih baik dari Nelson. Ia bahkan tak pernah merasakan podium selama tiga tahun kariernya di F1 pada periode 2009-2011.

Berada bersama Scuderia Toro Rosso dari awal hingga akhir kariernya di F1, prestasi terbaik pria asal Aigle, Swiss, adalah finis ketujuh di balapan perdananya, GP Australia 2009, dan mengulangi lagi pencapaiannya itu di GP Brazil pada tahun yang sama. Sebastien Buemi bahkan lebih dikenal dengan nasib nahas kegagalan suspensi di sesi kualifikasi GP China 2010.

Akan tetapi, karier pasca-F1-nya lebih baik dari Nelson Piquet Jr. Pebalap asal Swiss ini sanggup bersaing di ajang World Endurance Championship (WEC). Bersama tim Toyota Racing, ia sanggup menjadi juara dunia WEC tahun 2014 bersama Anthony Davidson.

Pada tahun yang sama, pebalap kelahiran 31 Oktober 1988 itu sudah bersaing ketat dengan Nelson Piquet Jr. di Formula E, walau akhirnya hanya menjadi runner up musim 2014/2015. Barulah pada musim 2015/2016, ia menjadi juara dengan unggul dua poin atas Lucas di Grassi, di mana mereka berdua terlibat kecelakaan pada balapan E-prix terakhir di London.

Buemi tetap kompetitif setelah menjadi juara dunia, bahkan memegang rekor sebagai pebalap dengan kemenangan E-prix terbanyak, yakni 12 kali. Semusim berikutnya, ia kembali menjadi runner up dan musim lalu ia bertengger di posisi keempat klasemen. Musim 2018/2019, Buemi masih membalap bersama tim DAMS yang bekerja sama dengan Nissan, setelah empat musim sebelumnya menjalin kerja sama dengan Renault.

Buemi pun masih terus aktif di ajang WEC. Prestasi terbaiknya di WEC setelah menjadi juara dunia tahun 2014 adalah runner up pada tahun 2017 bersama Kazuki Nakajima. Kini, bersama Alonso dan Nakajima di bawah tim Toyota Gazoo Racing, Buemi memuncaki klasemen sementara WEC 2018/2019. Mereka juga sukses menjadi juara pertama Le Mans 24 Jam tahun 2018.

3. Lucas di Grassi

Di antara mereka semua, Lucas di Grassi adalah yang paling 'asing' di F1. Ia sebenarnya lebih akrab dengan GP2 Series dan Macau GP karena lebih berprestasi di dua ajang itu.

Di Grassi lebih banyak menghabiskan karier F1-nya sebagai pebalap tes. Tahun 2005, pebalap asal Sao Paulo, Brazil, ini menjadi pebalap tes untuk Mild Seven Renault F1 Team, di mana tim tersebut keluar menjadi juara dunia konstruktor dan mampu membawa Fernando Alonso menjadi juara dunia pada tahun yang sama.

Pada tahun 2007-2009, Di Grassi kembali menjadi pebalap tes untuk Renault di bawah nama ING Renault F1 Team. Artinya, ia dan Nelson Piquet Jr. pernah menjadi rekan. Pada tahun 2008, ia juga dikontrak untuk menjadi pebalap tes untuk Honda Racing F1 Team.

Kesempatan menjadi pebalap lintasan ia dapatkan tahun 2010. Lucas di Grassi bersama tim Virgin Racing yang bermesinkan Cosworth, gagal mencetak poin sama sekali dengan posisi finis terbaik ke-14 di GP Malaysia. Setahun berikutnya, pebalap kelahiran 11 Agustus 1984 ini kembali menjadi pebalap tes untuk Pirelli.

Pasca-F1, Di Grassi juga sempat menjajal WEC, tetapi prestasinya kalah bersinar dari Buemi. Bersama tim Audi Sport Team Joest sejak 2012 hingga 2016, prestasi terbaiknya adalah runner up WEC 2016 bersama Oliver Jarvis dan Loic Duval. Ia juga pernah menjadi runner up Le Mans 24 Jam tahun 2014 bersama Tom Kristensen dan Marc Gene.

Sejak musim perdana Formula E hingga sekarang, ia menjadi pebalap yang kompetitif bersama tim Audi Sport. Pada musim perdana, ia bertengger di peringkat ketiga klasemen, lalu menjadi runner up musim berikutnya.

Barulah pada musim 2016/2017 Lucas di Grassi keluar sebagai juara Formula E. Pada musim 2017/2018, ia kembali jadi runner up, kalah unggul dari Jean-Eric Vergne. Hingga musim keempat, ia sudah total delapan kali memenangkan E-prix, terbanyak kedua sepanjang sejarah Formula E.

4. Jean-Eric Vergne

Pebalap yang lebih akrab disebut JEV ini bisa dikatakan menjadi mantan pebalap F1 yang paling tersakiti hatinya dibanding yang lain.

Di F1, ia mengawali kariernya pada 2011 dengan menjadi pebalap tes Scuderia Toro Rosso, yang artinya ia bekerja sama dengan Sebastien Buemi dan Jaime Alguersuari. Barulah pada tahun 2012 hingga 2014, pebalap asal Pontoise, Prancis, ini menjadi pebalap reguler Toro Rosso. Prestasi terbaiknya adalah finis keenam di GP Kanada 2013 dan GP Singapura 2014.

Ihwal yang membuatnya merasa tersakiti di F1 adalah fakta bahwa Toro Rosso adalah tim satelit dari Red Bull. Pada tahun 2014, ia memiliki prestasi yang lebih baik dari rekannya asal Rusia, Daniil Kvyat. JEV menorehkan 22 poin, sedangkan Kvyat hanya 8 poin.

Akan tetapi, manajemen Red Bull lebih tertarik mempromosikan Kvyat ke tim Red Bull untuk tahun 2015 sebagai pengganti Sebastian Vettel, alih-alih dirinya. Kesal dengan hal itu, pada 26 November 2014, pebalap kelahiran 25 April 1990 itu menyatakan bahwa ia tidak akan lagi membalap untuk Toro Rosso dan memilih menjadi pebalap tes Ferrari pada tahun 2015.

Setelah itu, JEV juga langsung bergabung dengan Andretti Autosport dan melangsungkan balapan Formula E perdananya pada E-prix di Punta de Este, Uruguay, yang menjadi seri ketiga musim 2014/2015. JEV mengejutkan banyak orang dengan meraih pole position di Uruguay, walau akhirnya harus finis ke-14.

Ia juga sempat meraih pole position di Miami dan Moskow pada musim yang sama, tetapi tak ada satu pun E-prix yang ia menangkan. Prestasi terbaiknya pada musim perdana adalah peringkat kedua di E-prix Long Beach.

Pada musim berikutnya, ia bergabung dengan DS Virgin Racing, tetapi prestasinya malah menurun. Barulah pada musim 2016/2017, bergabung dengan tim Techeetah, JEV sukses meraih podium pertamanya pada seri E-prix pamungkas di Montreal, Kanada.

Kemenangan Itu menumbuhkan semangatnya untuk kemudian menjadi juara dunia Formula E musim 2017/2018, unggul atas Di Grassi dan Sam Bird. Raihan 4 kemenangan E-prix, yaitu di Chile, Uruguay, Prancis, dan Amerika Serikat turut membantu memuluskan langkahnya menjadi juara. Untuk musim 2018/2019, JEV masih akan bersama Techeetah dan siap bersaing mempertahankan gelarnya.

Begitulah hidup, begitulah motorsport. Lain ladang, lain belalang. Di satu ajang, bisa jadi kamu pecundang. Namun di lain tempat, bisa jadi kamu adalah juara. Apakah JEV akan menjadi pebalap pertama yang berhasil back-to-back juara dunia? Kita nantikan saja.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini