Penonton yang Muak, Festival, dan Pasar
“And when I get depressed about business things, I get a copy of Sid Vicious's 'My Way', and turn it up to 11, really it does your soul good.”
Dilansir The Guardian, kalimat di atas diucapkan oleh Jim Jarmusch, pembuat film dari Amerika Serikat, saat menjawab pertanyaan audiens.Saat itu, seorang penonton mempertanyakan cara Jim Jarmusch mendapatkan dana untuk film-filmnya sambil tetap memegang penuh kendali sisi kreatifnya.
Pertanyaan tersebut dijawab cukup panjang oleh Jarmusch. Selain memaparkan strategi pendanaan yang pernah ia lakukan, Jarmusch juga membahas sedikit soal sikapnya.
Jarmusch menyebut dirinya selalu teguh untuk menolak segala intervensi di sisi kreatif. Dalam jawabannya kepada penanya, ia menyebut, “I'm not seduced by money or the things that Hollywood tries to offer.”
Ia juga berkata, “I've walked out of a lot of deals where people were offering to finance a film under certain conditions and the Hollywood people are really, really shocked.”
Bukan berarti ia pongah dan selalu merasa benar untuk setiap keputusan kreatifnya. Namun, ia hanya merasa, bila karyanya buruk, ia ingin karyanya buruk in his own way.
Sementara itu, kalimat yang saya letakkan di awal tulisan adalah kalimat terakhir dalam jawabannya. Saat aktivitas filmnya buruk secara bisnis, yang ia lakukan adalah mendengar Sid Vicious, vokalis sekaligus bassist Sex Pistols, menyanyikan lagu My Way.
Mendengarkan Sid Vicious menyanyikan My Way jelas bukan tanda bahwa Jim Jarmusch akan menyerah.
Jim Jarmusch hanyalah satu dari sejumlah pembuat film yang menolak untuk menggadaikan idealismenya demi uang. Selain Jarmusch, ada juga nama lain, seperti Sofia Coppola, yang memilih ranah independen, karena tidak nyaman dengan betapa seksis-nya Hollywood. Atau Richard Linklater, yang memang lebih ingin membuat film-film yang 'kecil'.
Mereka bermain dalam sebuah ekosistem yang memungkinkan mereka tetap bebas, dan bisa berpegang pada prinsipnya. Salah satu bagian dari ekosistem tersebut tentunya adalah festival.
Bagi saya, menyaksikan film-film festival selalu menjadi pengalaman yang khas. Di sanalah film-film, yang bebas dari belenggu pasar (dan standar moral abal-abal) bisa tumbuh, dan mendapat kesempatan untuk dibicarakan khalayak.
Sayangnya, masih saja ada orang-orang yang berpandangan bahwa penonton festival dan film-film alternatif hanyalah para snob yang ingin terlihat beda dan eksklusif.
Mungkin memang ada yang seperti itu. Namun, percayalah tidak semua orang memilih tontonan alternatif agar terlihat berbeda. Nyatanya, banyak dari mereka memilih tontonan alternatif karena merasa muak.
Ruang pemutaran dan film mainstream, terlebih di Indonesia, kerap menghindari konten-konten yang dianggap ‘tidak untuk banyak orang’.
Kita pun masih mempunyai Lembaga Sensor Film, lembaga ‘peninggalan Belanda’ yang berhak menentukan film apa yang layak dan tidak layak ditonton oleh masyarakat.
Di luar itu, ada pula berbagai ormas yang gemar 'mengatur' tontonan untuk publik. Mungkin mereka tidak selalu berhasil menumbangkan film di bioskop. Namun, dengan jumlah pengikut yang banyak, dan daya ancam yang besar, omongan mereka sangatlah dipertimbangkan.
Hal-hal itu tentu amat disayangkan, sebab ternyata kita tidak pernah seleluasa itu dalam membicarakan sesuatu. Walaupun, sebetulnya ada hal yang lebih mengerikan dari itu, yakni karya-karya yang gemar mengeksploitasi hal-hal yang tidak tepat secara politis.
Dalam dunia yang tak ideal ini, pembuat film kadang bukan hanya menghindari sensor atau pemberangusan, tapi juga menggoreng hal-hal yang (dianggap) sedang in di pasar. Tak peduli bila hal itu nantinya akan membodohi banyak orang.
Berbagai film menarik dan kritis di ranah mainstream mungkin memang ada. Namun, rambu-rambu dari LSF, produser, hingga 'kelompok mudah marah', jelas membuat film-film kritis sulit lahir dari rahim mainstream.
Inilah yang kemudian membuat penonton mencari tontonan alternatif, dan sineas membuat karya secara independen. Selain dari itu, mungkin ini juga yang membuat Jim Jarmusch mendengarkan 'My Way' saat depressed.
Keteguhannya membuat karya yang menurutnya layak, membuatnya bisa dengan sukacita bernyanyi: ”For what is a man, what has he got. If not himself, then he has naught. To say the things he truly feels. And not the words of one who kneels. The record shows, I took the blows. And did it my way!"