Home
/
Digilife

Pedoman Penanganan Kasus UU ITE Dikeluarkan Kapolri, Ini Isi Lengkapnya

Pedoman Penanganan Kasus UU ITE Dikeluarkan Kapolri, Ini Isi Lengkapnya
Tomy Tresnady23 February 2021
Bagikan :

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Foto: Istimewa)

Uzone.id - Suara masyarakat Indonesia yang menginginkan adanya revisi pasal 'karet' yang termaktub dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), akhirnya didengar oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Pada Senin (22/2/2021), Kapolri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Kapolri dalam mengeluarkan SE ini setelah adanya mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU ITE yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital.

Hal menarik dari SE ini adalah polisi tidak perlu menahan tersangka jika bersangkutan telah berdamai atau meminta maaf.

BACA JUGA: Tim Kajian UU ITE Resmi Dibentuk, Libatkan Tiga Kementerian

"Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," ujar Kapolri.

Kapolri diminta jajarannya untuk mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga bisa menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan. 

"Surat Edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri," kata Kapolri.

Penyidik Polri nantinya punya pedoman dalam menangani kasus terkait UU ITE, seperti berikut ini:

  1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya;
  2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat;
  3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber;
  4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil;
  5. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi;
  6. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada;
  7. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara;
  8. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme;
  9. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali;
  10. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan; dan
  11. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.

VIDEO Test Kemampuan GoPro Hero 9 Black, Paket Komplit Kameramen!

populerRelated Article