Home
/
Lifestyle

Mengapa Kita Tampil Lebih Jelek dari Bayangan di Cermin?

Mengapa Kita Tampil Lebih Jelek dari Bayangan di Cermin?
Kolumnis: 16 March 2019
Bagikan :

Ilustrasinya begini: Anda merasa tampan atau cantik saat berdiri di depan cermin, usai berdandan, lalu pergi ke lokasi kondangan. Seorang teman memfoto Anda diam-diam. Keesokan harinya foto diunggah di Instagram, kemudian Anda tersadar bahwa kemarin Anda tidak serupawan yang terlihat di cermin.

Jika pernah, atau bahkan sering mengalaminya, tenang. Anda tidak sendirian. Fenomena ini telah disadari pula oleh para psikolog. Beberapa di antaranya bahkan tertarik untuk membedah mengapa persepsi kerupawanan diri sendiri kerap berbeda dengan yang aslinya.

Dua diantaranya adakah Nicholas Epley dari University of Chicago dan Erin Whitchurch dari University of Chicago. Riset kolaborasi keduanya dipublikasikan dalam Personality and Social Psychology Bulletin edisi September 2008.

Kedua periset mengumpulkan sejumlah responden untuk difoto. Foto asli disimpan sementara dibuat dua salinan lain yang telah diubah agar subjeknya terlihat lebih menarik dan lebih tidak menarik. Responden kemudian disodorkan tiga jenis foto tersebut untuk dipilih mana yang paling merepresentasikan diri mereka.

Hasilnya, kebanyakan responden memilih bukan foto asli apalagi yang diubah lebih tidak menarik, tapi foto yang telah diubah menjadi lebih menarik.

Nicholas dan Erin kemudian menguji responden dengan foto orang asing yang pernah bertemu dengan responden pada tiga minggu sebelumnya untuk kepentingan riset yang lain.

Fotonya kembali terbagi menjadi tiga jenis: asli, diubah lebih menarik, dan diubah lebih tidak menarik. Responden diminta untuk memilih foto mana yang paling merepresentasikan diri si orang asing. Hasilnya berbeda: kebanyakan responden memilih foto asli—bukan yang diubah lebih menarik.

Bias pada Diri Sendiri, Tidak pada Orang Lain

Ozgun Atasoy adalah kandidat doktor di Boston University School of Management. Ia membahas riset Nicholas dan Erin di kanal Scientific American hingga mengerucut ke beberapa poin penting.

Pertama, kebanyakan orang sebenarnya menilai kerupawanan fisik mereka dalam taraf yang lebih tinggi ketimbang realitanya. Dalam bahasa yang lebih pedas tapi jujur: kita sebenarnya terlihat lebih jelek ketimbang bayangan diri yang tampak di cermin.

Kedua, penilaian itu tidak lepas dari bias subjektif. Bias ini diterapkan manusia selama menilai penampilan dirinya sendiri, tapi tidak ketika ia sedang menilai orang asing. Penilaian kepada orang asing pada akhirnya terasa lebih objektif atau justru lebih jujur.

Nolan Feeney dalam artikelnya untuk Atlantic menawarkan teori lain, yakni familiaritas. Ia mengutip pendapat Pamela Rutledge, Direktur Media Psychology Center, soal kebiasaan melihat diri di cermin setiap saat. Kepentingannya bukan hanya merias diri, tapi juga yang lebih primer seperti gosok gigi atau bercukur.

“Melihat dirimu di cermin menimbulkan kesan yang kuat. Anda akhirnya mengakrabi bayangan di cermin itu. Keakraban melahirkan rasa suka. Anda pun secara otomatis menetapkan preferensi untuk tampilan wajah Anda itu.”


Apa yang dikatakan Pamela bukan sekadar opini, kata Nolan. Ia kemudian mengutip satu eksperimen yang dijalankan University of Wisconsin, Amerika Serikat, pada 1977.

Responden disuguhi dua hal: foto diri dan cermin, lalu diminta memilih mana yang paling representatif terhadap penampilan diri. Kebanyakan responden memilih bayangan di cermin. Tapi, saat teman dan pasangan responden diminta memilih berdasarkan pertanyaan yang sama, mereka rata-rata memilih foto diri.

Psikolog menyebut fenomena memuji diri sebagai bagian dari self-enhancement (pengembangan diri). Secara sederhana self-enhancement adalah jenis motivasi dengan tujuan untuk membuat seseorang merasa baik dengan diri mereka sendiri (feel good about themselves) serta untuk menjaga self-esteem atau harga diri.

Kemunculan self-enhancement tergantung dari level harga diri seseorang. Jika harga dirinya tinggi, maka kehadirannya tidak terlalu signifikan. Jika rendah, maka self-enhancement lebih sering muncul serta dianggap sebagai prioritas terpenting—terutama dalam situasi-situasi yang mengancam kepercayaan diri.

Self-enhancement adalah satu dari empat motif evaluasi diri. Tiga lainnya adalah self-assesment (dorongan mengenali diri), self-verification (dorongan mengenali identitas) dan self-improvement (aksi memperbaiki diri). Motif evaluasi diri itu natural, dan membentuk bagaimana orang mengontrol dirinya.


Menariknya, menurut sejumlah riset yang dikutip Ozgun Atasoy, motif evaluasi diri melahirkan perbedaan cara seseorang menilai dirinya sendiri dan orang lain meski variabelnya sama.

Ozgun menyadur riset yang menunjukkan bahwa orang kerap melebih-lebihkan kemungkinan mereka akan terlibat dalam satu aktivitas, tapi sangat akurat dalam memprediksi perilaku orang asing. Dengan kata lain, standar penilaiannya masih mengandung bias subjektif.

Contohnya, orang akan melebih-lebihkan jumlah uang yang mereka sumbangkan ke satu lembaga amal. Di sisi lain, mereka akan menghitung dengan lebih realistis nominal yang disumbangkan orang lain ke lembaga yang sama.

Intinya, perhitungan untuk orang lain lebih akurat, tapi untuk diri sendiri tidak, sebab mengandung bias subjektif. Mengapa? Lagi-lagi soal self-enhancement, atau cara untuk membuat seseorang merasa baik dengan diri mereka sendiri, yakni dengan melakukan perbandingan terhadap orang lain.


Infografik cakep tuh relatif tapi charming mutlak
Preview

Asal Jangan Berlebihan

Ozgun merujuk para riset lain yang menyatakan pujian kepada diri sendiri membuat kebanyakan orang percaya mereka di atas rata-rata. Istilahnya “efek di atas rata-rata”, dan secara hitung-hitungan adalah sesuatu yang mustahil.

Ozgun kemudian mencontohkan sebuah survei tentang banyaknya pengemudi percaya bahwa level kemampuan menyetir mereka berada di atas rata-rata pengemudi lain. Juga penelitian tentang klaim mayoritas profesor perguruan tinggi yang merasa kinerjanya dalam bekerja di atas rata-rata.

Ada juga survei yang menunjukkan kebanyakan orang merasa memiliki ketahanan tubuh terhadap flu yang lebih tinggi ketimbang orang lain. Atau pemain saham yang manuvernya dirasa lebih menguntungkan ketimbang manuver rata-rata pemain saham lain.

Riset-riset di atas, termasuk soal melesetnya pujian terhadap diri sendiri saat berada di depan cermin, membuat konsep self-enhancement atau pengembangan diri terasa negatif.

Padahal, sekali lagi, motif evaluasi diri adalah sesuatu yang alamiah. Jika diterapkan secara proporsional, alias tidak berlebihan, maka akan berguna untuk menjaga kepercayaan diri di level yang mendukung karier, kehidupan sosial, segi percintaan, dan lain sebagainya.
Baca juga artikel terkait KEPERCAYAAN DIRI atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan

populerRelated Article