Mengapa Banyak Orang Suka Diramal?
-
Ramalan zodiak tentu bukan barang asing lagi di telinga Anda. Sejak dulu, prediksi kehidupan, asmara, keuangan, kesehatan yang didasarkan pada astrologi ini kerap menjadi rubrik tersendiri di media. Dia bisa disajikan secara harian, mingguan, hingga tahunan.
Ramalan zodiak atau horoskop adalah satu dari beragam jenis ramalan yang ada di bumi ini. Lainnya, kita bisa menyebut primbon, ramalan, atau perhitungan bagi suku Jawa. Hal-hal itu kerap dijadikan pedoman untuk menentukan waktu dan lokasi kegiatan, seperti perkawinan, pindah rumah. Bahkan, tak sedikit orang yang memakai ramalan untuk menentukan jodoh.
Jika suku Jawa memiliki primbon, orang Cina punya Feng Sui sebagai patokan untuk menentukan komponen hidup. Itu baru ramalan yang berdasar hari kelahiran. Ada pula ramalan lewat kartu seperti tarot dan remi, ramalan garis tangan, ramalan bola kristal, dan lainnya, tergantung media yang digunakan.
Hingga kini, urusan ramal-meramal masih menjadi pro-kontra. Hal ini ditulis Nicholas Campion, Pengajar Senior Arkeologi, Sejarah, dan Antropologi di University of Wales Trinity Saint David dalam artikelnya di The Conversation yang membahas tentang kepercayaan orang terhadap astrologi.
Campion mengatakan bahwa orang-orang yang kontra dengan astrologi akan menganggapnya sesat dan penipu. Mereka tak percaya takdirnya ada di tangan bintang-bintang itu.
Ada pula ramalan yang lebih bombastis. Ingat kejadian beberapa tahun lalu, saat kabar tentang kiamat di tahun 2012 menggegerkan dunia? Ramalan yang dikabarkan berasal dari Suku Maya tersebut menghadirkan kekhawatiran bagi banyak orang. Penduduk dunia kemudian mencari-cari fakta ihwal ramalan Suku Maya yang dianggap tepat. Nyatanya, tahun masih berganti hingga 2019.
Tak Logis, Tapi Digemari
A.J. Marsden dan William Nesbitt melalui tulisannya di Psychology Today mengungkapkan bahwa penolakan terhadap ramalan muncul karena ia dianggap lekat dengan dunia magis. Tak jarang, orang menyebut ramalan sebagai takhayul dan eksentrik.
Sebagai contoh, pada ramalan kartu, kita diminta mengocok kartu, kemudian sang peramal membuka kartu-kartu itu dan mengaitkan gambar dalam kartu dengan kehidupan kita. Tidak ada metode ilmiah yang digunakan dalam praktik tersebut. Adakah cara yang paten ketika mengocok kartu? Tidak ada. Begitu juga yang terjadi dengan ramalan ala bola kristal dan melempar koin.
Meskipun terlihat tak masuk akal, tak bisa ditampik banyak orang suka lamaran. Seperti kata salah satu karakter fiksi dalam serial Harry Potter, Minerva McGonagall, ramalan adalah cabang sihir yang paling tidak tepat dan tidak bisa diandalkan, tapi tidak selalu dilihat buruk.
Rabu, 27 Maret 2019, pukul 22.02, saya membuka Instagram untuk menilik jumlah foto di berbagai tagar yang berhubungan dengan ramalan tersebut. Ada #tarot (4.444.709 foto), #horoscope (1.886.091 foto), #astrology (3.316.561 foto), dan masih banyak lagi. Anda mungkin salah satu pengunggahnya.
Marsden dan Nesbitt mengungkapkan bahwa saat diramal, para konsumen sebenarnya tengah berkomunikasi dengan alam bawah sadar mereka sendiri. Orang akan mengaitkan tebakan sang peramal dengan masalah, kekhawatiran, harapan, ketakutan, dan kecemasan dalam diri mereka.
Lucunya, tidak sedikit orang yang mencari “jawaban” ternyaman dari para peramal atas nasib mereka. Oleh sebab itu, dalam membuat horoskop di kolom-kolom media, penulis akan terlebih dahulu mengamati perilaku manusia, kemudian mengarang dengan meyakinkan.
Dalam artikel di Psychologies, Isabelle Taubes menyitir filsuf Julian Baggini yang melontarkan kalimat khas yang sering muncul di ramalan bintang: “Keadaan memang sulit, tetapi ada kemungkinan penyelesaian”. Sebenarnya, kata-kata itu hanyalah trik licik: orang akan merasa bahwa hidup ini sulit, tapi semesta masih menawarkan harapan.
Dalam artikel yang sama, Taubes mengutip pula pernyataan seorang psikolog dari University of Wisconsin, Margaret Hamilton, yang mengatakan bahwa ramalan-ramalan di surat kabar itu ditulis sebagai “tempat pelarian” dari keruwetan hidup. Tak heran jika perkara ramal-meramal tetap dirasa memikat.
Pendidikan dan Kepercayaan Terhadap Ramalan
Nicolas Campion pernah membuat survei di Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat sejak 1975 sampai 1996. Survei tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan orang terhadap horoskop. Ternyata, hanya 25 persen orang dewasa yang percaya kepadanya.
Bahkan, di kalangan praktisi dan mahasiswa astrologi, hanya 27 persen yang percaya. Alasan mereka, orang hanya percaya pada sesuatu yang “tidak ada.”
Paichi Pat Shein (2014) bersama dua koleganya kemudian menelaah tentang hubungan antara tingkat pengetahuan seseorang dengan kepercayaan terhadap ramalan yang melibatkan 1.863 orang dewasa di Taiwan berusia 18 hingga 65 tahun.
Dalam penelitian tersebut, mereka mengelompokkan 358 kota di Taiwan menjadi enam subpopulasi berdasarkan 6 indeks demografi: kepadatan penduduk; pekerjaan komersial; pekerjaan industri; usia 15 sampai 64,4 tahun dan 65 tahun; dan pendidikan tinggi dan pendidikan di atasnya.
Keenam subpopulasi tersebut mewakili area tinggal yang berbeda: area metropolitan; area industri atau komersial; area berkembang; area industri tradisional; area kurang berkembang; serta daerah terpencil dan pedesaan.
Dari penelitian Shein, dkk. terlihat bahwa ramalan yang populer di Taiwan adalah ramalan yang mengaitkan dengan kepercayaan tradisional warga. Temuan ini bukan berarti bahwa mereka yang percaya ramalan adalah orang dengan tingkat pendidikan rendah. Menurut Shein, dkk. kepopuleran ramalan lebih lekat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat.
Mereka mengakses ramalan karena kesulitan dalam hidup. Menurut Marsden dan Nesbitt, setiap orang tentu memiliki alasan kepercayaan yang berbeda, tapi sebenarnya yang membuat ramalan tetap laris adalah orang butuh petunjuk dan jawaban atas kehidupan mereka.
Baca juga artikel terkait RAMALAN atau tulisan menarik lainnya Widia Primastika