Home
/
News

Kudeta Militer Turki Gagal, Presiden Erdogan Tetap Berkuasa

Kudeta Militer Turki Gagal, Presiden Erdogan Tetap Berkuasa
Suara16 July 2016
Bagikan :
Preview
|

Sebuah usaha kudeta militer Turki tampak gagal pada Sabtu WIB (16/7/2016). Kegagalan kudeta ini terjadi setelah massa menjawab permintaan Presiden Tayyip Erdogan untuk turun ke jalanan demi mendukungnya.

Erdogan, yang saat itu sedang melakukan liburan di pantai saat kudeta itu berlangsung, terbang ke Istanbul sebelum Sabtu fajar dan terlihat di televisi muncul di tengah kerumunan pendukungnya di luar bandara.

"Pemberontakan itu merupakan sebuah "aksi pengkhianatan," dan mereka yang bertanggung jawab akan mendapatkan ganjaran yang besar," katanya dalam konferensi pers mendadak.

Sejumlah tembakan dan ledakan telah mengguncang kota utama Istanbul dan ibu kota Ankara dalam sebuah malam yang kacau setelah para tentara menempatkan diri di kedua kota itu dan memerintahkan televisi nasional untuk membacakan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka telah merebut kekuasaan.

Namun pada Sabtu pagi, para jurnalis Reuters melihat sekitar 30 orang tentara pro-kudeta menyerahkan senjata mereka setelah dikepung oleh polisi bersenjata lengkap di lapangan Taksim, Istanbul.

Mereka dibawa dengan kendaraan kepolisian saat sebuah pesawat jet tempur terus terbang rendah, menyebabkan sebuah efek suara yang menggetarkan sejumlah bangunan dan memecahkan kaca jendela.

Keberhasilan penggulingan Erdogan, yang menguasai Turki sejak 2003, akan menandai salah satu pergantian terbesar di Timur Tengah dalam beberapa tahun, mengubah salah satu sekutu terpenting Amerika Serikat sementara sejumlah konflik bergejolak di perbatasannya.

Sebelum kembali ke Istanbul, Erdogan muncul dalam sebuah panggilan video ke studio rekan CNN di Turki, dimana seorang penyiar mengarahkan telepon genggam ke kamera untuk menunjukkan dirinya.

Dia meminta warga Turki untuk turun ke jalanan demi mempertahankan pemerintahannya dan mengatakan bahwa para pelaku kudeta akan mendapatkan hukuman berat.

Pada Sabtu pagi, para anggota parlemen masih bersembunyi dalam tempat perlindungan di gedung parlemen Ankara, yang ditembaki oleh sejumlah tank.

Seorang anggota parlemen dari pihak oposisi mengatakan kepada Reuters bahwa gedung parlemen ditembak sebanyak tiga kali dan terdapat beberapa korban luka.

Seorang komandan militer Turki mengatakan beberapa jet tempur Turki telah menghancurkan sebuah helikopter yang digunakan oleh pihak milier i Ankara. Kantor berita nasional Anadolu mengatakan bahwa 17 orang aparat polisi tewas di markas pasukan khusus kota itu.

Saat malam berlagsung, keadaan berbalik melawan para pelaku kudeta. Masyarakat mengabaikan perintah untuk tetap berada di dalam rumah, berkumpul di sejumlah lapangan besar di Istanbul dan Ankara, mengibarkan bendera dan berseru.

"Kami memiliki seorang perdana menteri, kami memiliki kepala komando, kami tidak akan menyerahkan negara ini kepada orang-orang bodoh," ujar seorang pria, saat sekelompok pendukung pemerintah menaiki sebuah tank dekat bandara Ataturk Istanbul.

Dukungan Amerika Serikat Amerika Serikat menyatakan dukungan teguhnya kepada pemerintahan Erdogan. Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan bahwa dia telah menghubungi menteri luar negeri Turki dan menekankan "dukungan penuh terhadap pemerintah rakyat terpilih dan institusi demokratis".

Kudeta itu dimulai dengan sejumlah jet tempur dan helikopter yang terbang di atas Ankara dan pasukan bergerak untuk menutup sejumlah jembatan di Bosphorus yang menghubungkan Eropa dan Asia di Istanbul.

Para wartawan Reuters menyaksikan sebuah helikopter mengeluarkan tembakan di Ankara. Anadolu mengatakan sejumlah helikopter militer menembaki markas lembaga intelijen.

Pada awal kudeta, bandara ditutup dan akses terhadap media sosial internet dihentikan.

Tentara menduduki stasiun televisi nasional TRT, yang mengumumkan jam malam dan darurat militer di penjuru negeri.

Seorang penyiar membacakan sebuah pernyataan perintah militer itu yang menuduh pemerintah mengikis ketentuan demokratis dan sekuler negara itu. Negara itu kemudian akan dijalankan oleh sebuah "dewan perdamaian" yang akan memastikan keamanan masyarakat.

Sesaat setelah itu, TRT memutuskan siaran. Mereka kembali mengudara pada Sabtu pagi.

Anadolu mengatakan bahwa kepala staf militer berada di antara mereka yang "ditawan" di ibu kota Ankara, namun Perdana Menteri Binali Yildirim kemudian mengatakan bahwa dia kembali bertugas.

Seorang sumber senior Uni Eropa yang memantau keadaan itu mengatakan: "Itu terlihat seperti sebuah kudeta yang terencana dengan baik oleh dalam militer, bukan hanya oleh beberapa kolonel. Mereka merebut kendali atas bandara dan akan mendapatkan kendali atas stasiun televisi. Mereka mengendalikan beberapa lokasi strategis di Istanbul".

"Dilihat dari skala operasinya, sulit ntuk membayangkan bahwa mereka akan berhenti".

Turki, sebuah negara anggota NATO dengan jumlah militer terbesar kedua dalam aliansi Barat, merupakan salah satu sekutu terpenting Amerika Serikat dalam memerangi ISIS yang merajalela di Irak dan Suriah.

Pentagon mengatakan bahwa tidak ada dampak terhadap operasi melawan ISIS dari pangkalan udara Amerika Serikat Incrik di Turki.

Turki juga merupaka salah satu pendukung utama Presiden Suriah Bashar Al Assad dalam perang saudara negara itu, yang menampung sekitar 2,7 juta pengungsi Suriah dan membuka negaranya untuk arus migran terbesar ke Eropa sejak Perang Dunia II.

Turki masih dalam keadana perang dengan para separatis Kurdi, dan mengalami sejumlah pemboman dan penembakan pada tahun ini, termasuk sebuah serangan dua minggu yang lalu oleh kelompok radikal di bandara utama Istanbul yang menewaskan lebih dari 40 orang.

Para pejabat turki menyalahkan usaha kudeta itu kepada pengikut Fethullah Gulen, sebuah pendeta berpengaruh yang mengasingkan diri di Amerika Serikat, yang dulunya pernah mendukung Erdogan namun berubah menjadi musuh bebuyutan.

Aliansi pro-Gulen untuk Pembagian Nilai mengatakan bahwa mereka mengutuk segala intervensi militer dalam perpolitikan dalam negeri.

Setelah menjabat sebagai perdana menteri sejak 2003, Erdogan terpilih sebagai presiden pada 2014 dengan rencana untuk mengubah konstitusi demi memberikan kuasa eksekutif yang lebih besar terhadap presiden.

Turki mengalami peningkatan ekonomi pada masa pemerintahannya dan memperluas pengaruhya di wilayah sekitarnya. Namun pihak oposisi mengatakan bahwa kekuasaannya menjadi semakin otoriter.

Partai AK pimpinannya, yang berakar dari nilai Islam, telah lama memiliki ikatan yang buruk dengan pihak militer dan nasionalis di negara yang dibangun atas dasar prinsip sekularisme setelah perang Dunia I.

Pihak militer memiliki sejarah kegiatan kudeta untuk mempertahankan sekularisme, namun belum pernah merebut kekuasaan secara langsung sejak 1980.

Perdana Menteri Yildirim mengatakan sebuah kelompok dalam militer Turki telah mencoba untuk menggulingkan pemerintah dan pasukan keamanan telah diperintahkan untuk "melakukan apa yang diperlukan".

"Beberapa orang melaksanakan kegiatan ilegal di luar rantai komando," kata Yildirim dalam komentar yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta NTV.

"Pemerintah terpilih masih berkuasa. Pemerintah hanya akan pergi jika rakyat mengatakan demikian," tambahnya. (Antara)

Preview


Berita Terkait:


populerRelated Article