Home
/
Lifestyle

Kini Tren, Tenun dengan Warna Alam

Kini Tren, Tenun dengan Warna Alam
TEMPO.CO18 January 2017
Bagikan :

Kain tenun Indonesia kian populer. Direktur Jenderal Industri Kecil-Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, menyatakan nilai ekspor kain tenun pada 2015 mencapai US$ 2,6 juta dengan tujuan utama ekspor ke Eropa.

Data lainnya secara spesifik menunjukkan nilai ekspor kain tenun Nusa Tenggara Timur terus tumbuh dalam dua tahun terakhir. Kain tenun NTT merambah Eropa dan Amerika. Jenama asli Indonesia, LeViCo yang dimotori Yurita Pujie dan Julie Laiskodat, membawa kain ini hinggat ke panggung FTLModa New York pada September 2016.

Keduanya menampilkan 16 busana ready to wear koleksi spring/summer 2017 yang dibuat dari bahan kain tenun ikat NTT. Panggung ini, menurut Yurita, merupakan salah satu cara memasarkan kain tenun ikat di Negeri Abang Sam. “Saya berharap pencinta fashion mulai mengenakan kain tenun NTT untuk melestarikan kebudayaan,” kata dia.

Alasan melestarikan kebudayaan itu juga yang membuat Cita Tenun Indonesia (CTI) gencar mempromosikan tenun tangan tradisional. Pada IPMI Trend Show 2017, CTI menyelenggarakan pameran, bazartenun tradisional, dan peragaan busana yang didukung oleh Uni Eropa dan Humanist for Cooperation with Developing Countries (HIVOS). Pada rangkaian acara tersebut, CTI mengusung tema “Warna Alam”.

Bukan sekadar tema, bukan pula sebatas terinspirasi warna alam. CTI betul-betul menggunakan tenun tradisional yang menggunakan warna-warna alami. Jadi, selain melestarikan kebudayaan, CTI menerapkan konsumsi dan produksi berkelanjutan melalui program ini.

Menurut Direktur Regional Hivos Biranchi Upadhyaya, program ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup perempuan penenun dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. “Melalui rantai tekstil tenun tangan tradisional yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” kata dia.

Untuk menghasilkan warna dasar, seperti merah, hitam, kuning, cokelat, dan biru indigo, penenun menggunakan tanaman secang, mangga, mahoni, ketapang, dan tarum. Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan antara lain daun, kulit batang, dan umbi.

Preview

Proses pencelupan benang tenun dengan pewarnaan alami. (TEMPO/Febrianti)

Adapun untuk menghasilkan warna oranye, benang direndam bersama rebusan air mengkudu, diberi kapur, lalu dijemur. Proses pewarnaan alami cukup rumit sehingga harga selembar kain dipatok cukup tinggi, berkisar Rp 600 ribu–6 juta.

Meski memakan waktu lama dan berharga mahal, kain tenun yang dihasilkan dari proses pewarnaan alami punya kualitas yang lebih baik. “Warnanya lebih tahan lama, tidak mudah luntur, dan lebih lembut di mata,” kata Aldo Ganantha, penenun.

Agak mengejutkan mengetahui kolaborasi pendampingan tiga lembaga ini menyasar penenun di empat daerah di luar NTT, yaitu Kabupaten Jembrana di Bali bagian barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah bagian utara, dan Jawa Tengah bagian selatan. Hasilnya dapat dilihat di atas panggung catwalk. CTI menggandeng empat desainer untuk menyulap kain tenun ini menjadi busana yang pantas ditampilkan di atas catwalk.

Desainer Chossy Latu menggarap kain dari daerah binaan Jawa Tengah bagian selatan, Auguste Soesastro untuk daerah binaan Jawa Tengah bagian utara, Didi Budiardjo untuk daerah binaan Kabupaten Jembrana di Bali bagian barat, dan Denny Wirawan untuk daerah binaan Sulawesi Tenggara.

Di catwalk, Chossy menampilkan deretan busana yang didominasi warna cokelat muda, putih gading, dan abu-abu. Chossy mengandalkan celana lebar, dress, dan rok sebetis sebagai senjata padu-padan. Dia juga menghadirkan celana pendek dan crop top untuk menegaskan gaya kasual.

Preview
                       Busana koleksi Chossy Latu. (Dok. Cita Tenun Indonesia)

Perancang ternama lainnya, Auguste Soesastro, membalut busananya dengan warna gelap. Busana bersiluet longgar hadir dalam warna hitam dan abu-abu. Seolah berkebalikan dengan Auguste, busana rancangan Didi Budiardjo menampilkan warna lebih terang seperti oranye, merah, putih, dan biru.

Preview

Kiri: Busana koleksi Auguste Soesastro, dan busana koleksi Didi Budiardjo.
(Dok. Cita Tenun Indonesia)

Denny Wirawan tampak menonjolkan kesan urban lewat permainan cutting. Potongan asimetris diaplikasikan di sejumlah atasan berwarna merah, dan cokelat. Paduannya adalah celana berpotongan lebar, kulot, atau rok dengan belahan tinggi. Busana berwarna cokelat, hijau, dan warna natural lainnya terbukti mampu menonjolkan kesan urban dan modern dalam busana Denny.

Preview

Busana koleksi Denny Wirawan. (Dok. Cita Tenun Indonesia)

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerénd, berharap program ini dapat memberi nilai tambah pada warisan budaya Indonesia. Sebab, keempat daerah itu merupakan penghasil tenun yang langka.

Kelebihan pewarna alami:
- Warna lebih awet
- Tidak mudah luntur
- Lebih lembut di mata

Kekurangan pewarna alami
- Proses lebih lama
- Harga lebih mahal
- Tidak praktis
- Ketersediaan warna sangat bergantung pada ketersediaan tanaman

Sentra penghasil tenun warna alami di NTT:
- Sentra Tenun Ikat “Gunung Mako”, Alor Barat Laut
- Desa Kaluda, Sumba Timur
- Desa Pringgasela, Lombok Timur
- Desa Sukarara, Lombok Tengah
- Desa Nita, Sikka.

Jenis dan daerah penghasil tenun
-
Sumatera: Tenun Angso Duo (Jambi), Tapis (Lampung), Ulos (Sumatera Utara)
- Jawa: Tenun Troso (Jepara), tenun Baduy (Baduy)
- Bali: Tenun Endek, Tenun Gringsing
- NTB: Kain Mbojo
- Maluku: Tenun Tamimbar
- Kalimantan: Tenun Sambas (Kalimantan Barat), Tajong (Kalimantan Timur), Tenun Sintang (Dayak)
- Sulawesi: Tenun Wakatobi (Sulawesi Tenggara), tenun Donggala (Sulawesi Tengah), tenun Mamasa (Sulawesi Barat)

DINI PRAMITA

Berita lainnya:
Ide Kreatif Bekal Sekolah
5 Tanda Kamu Terlalu Bergantung pada Pasangan
Hitung Kalori Makanan agar Asupan Nutrisi Tak Berlebih

Berita Terkait:
populerRelated Article