Home
/
Travel

Karangan, Sebuah Desa Di Atas Awan

Karangan, Sebuah Desa Di Atas Awan
pradikta09 March 2018
Bagikan :

Dari balik dinding dari papan papan kayu sinar matahari mulai nampak dan masuk melalui celah celah sempit. Sang pagi tak disambut meriah seperti orang orang yang sedang memburu pagi di puncak gunung gunung. Kawan - kawan yang berada disekitarku masih terlelap di dalam dekapan hangat Sleeping bag.  

Aku coba keluar dari dekapan hangat Sleeping bag sambil sedikit menahan suhu dingin di awal pagi itu. Melongok keluar nampak sisa hujan semalam masih membekas menyisakan udara segar yang nyaman dihirup. Barisan bukit bukit tampak diam membisu, terselimut halimun di puncak puncaknya. Dari dalam terdengar suara “Ambe Simen” sang pemilik rumah panggung yang memulai melakukan aktifitasnya.

Sembari menyandarkan kepala di dinding papan rumah panggung ini aku mencoba menikmati semua yang ada di depan mata. Barisan bukit nampak berlapis lapis menyapa pagiku yang indah di pedalaman Pulau Sulawesi, di dusun mungil nan cantik bernama Karangan.

Dari rumah Ambe Simen aku dapat melihat keseluruhan Desa Karangan dari ketinggian, karena memang rumah ini berada di posisi paling atas sehingga jelas sekali deretan rumah rumah panggung di bawah sana.

Desa Karangan sebenarnya berada di lembah yang berada diantara bukit bukit nan terjal. Sekilas seperti dataran tinggi di Cina, walaupun aku belum pernah kesana hanya sebatas melihat dari tayangan televisi saja.

Desa Karangan yang berada di ketinggian
Preview
Desa Karangan yang berada di ketinggian

Tak ada geliat yang berarti pagi itu di Dusun Karangan, tak terlihat penduduk beraktifitas atau kendaraan yang berlalu lalang, mungkin karena jumlah penduduknya yang sedikit atau mungkin juga karena hari ini bukan hari pasar, hari dimana para penduduk Karangan biasanya “Turun Gunung” untuk membawa hasil bumi mereka ke pasar terdekat di kecamatan di Baraka. Komoditas utama dari penduduk Karangan adalah Biji Kopi berjenis robusta.

Kopi jenis robusta akan sangat bagus tumbuh dengan ketinggian diatas 800 mdpl. Dan jika kalian adalah pecinta kopi, maka kalian pasti akan tahu tentang kopi Toraja bukan? Yapp.. kopi Toraja yang terkenal itu sebenarnya paling banyak berasal dari Enrekang dan sebagian besar berasal dari kawasan Karangan ini.

Sedikit mengamati bentuk kopi yang tumbuh berderet di belakang rumah sambil membayangkan nantinya biji biji kecil kopi itu akan melalui proses yang rumit hingga sampai ke kedai kedai kopi dan bisa dinikmati oleh para pecinta minuman hitam ini.

Salah satu aliran sungai Desa Karangan
Preview
Salah satu aliran sungai Desa Karangan

***

Aku, Acen, Rafli, Lidya duduk tepat diatas tumpukan keril di atap jeep. Bang Ipang, Sulis, Bojes duduk diantara kap mobil depan, sedangkan Anna dan Shinta menikmati perjalanan tepat di samping sang sopir. Pengalaman pertama merasakan duduk di atap jeep. Ngeri itu yang aku rasakan namun secara perlahan hilang seiring rasa takjub di perjalanan. Bagaimana tidak kiri, kanan, depan, belakang semua begitu indah untuk dinikmati.

Tangan pun selalu menggenggam kamera dan siap siaga jika ada sesuatu yang menarik pasti akan segera kami abadikan. Satu kilo, dua kilo, tiga kilo pemandangan indah tiada habisnya hingga akhirnya jeep pun terasa sedikit berat untuk melaju. Jalan beton semakin menanjak hebat, jalur yang tadi mulus sekarang menunjukkan wajah aslinya. Sebagian besar lapisan permukaannya telah hilang menyisakan bebatuan mencuat bercampur pasir nan licin.

Hingga akhinya bentuk beton yang bopeng pun menghilang berganti menjadi tanah berlumpur. Sisa hujan yang turun pun semakin membuat jalur menuju Desa Karangan menjadi semakin liar. Jalur meliuk liuk melewati bibir jurang yang sangat dalam di sebelah kanan. Dengan laju konstan, mobil Toyota Land Rover tua yang aku tumpangi pun melaju dengan mantap.

Perjuangan untuk menggapai Desa Karangan
Preview
Perjuangan untuk menggapai Desa Karangan

Mesin mobil tua pun meraung seakan dia sudah lelah dipaksa melaju di jalur ini entah untuk yang keberapa kalinya. Dari spion aku dapat melihat raut wajah sang sopir, tak ada keraguan dari tatapan matanya dan dengan begitu tenang dia mencoba bermain kopling dan gas agar mesin tua ini tetap bisa melaju di atas lumpur dalam nan liar. Dibalik keindahan dan kekayaan alam di Desa karangan tersimpan secuil kisah dari perjuangan hidup para penduduknya.

Dari sini dari jalan yang berlumpur ini aku sedikit bisa merasakan apa yang mereka jalani sehari hari. Setiap hari mereka harus bertempur dengan jalur yang luar biasa. Bukan konteks luar biasa karena pemandangan alamnya namun luar biasa karena kerusakannya.

Namun apa daya hanya ini jalur satu satunya untuk mereka. Yang tua menyambung hidup dengan membawa hasil kopi dan sayuran ke pasar terdekat dan yang muda meniti langkah menuntut ilmu ke sekolah yang berpuluh puluh kilo jauhnya. Dari jalur ini mereka pergi dari jalur ini juga mereka akan kembali.

Entah kenapa seiring dengan lajunya pembangunan di kota kota besar tak di iringi dengan pembangungan di desa desa terpencil seperti karangan. Beribu alasan pastinya, namun potensi yang dimiliki Desa Karangan ini sepatutnya tak bisa dianggap sebelah mata. Sebut saja Gunung Latimojong, pendaki mana yang tak tahu salah satu gunung yang tertinggi di Indonesia Ini?, Desa penghasil kopi Toraja yang terkenal itu, dan salah satu penghasil sayuran terbesar di Kabupaten Enrekang. 3 alasan besar mengapa Karangan perlu mendapat perhatian lebih karena Karangan mempunyai potensi yang luar biasa.

Malam yang penuh bintang
Preview
Malam yang penuh bintang

Ini baru di Sulawesi Selatan yang notabene belum begitu jauh dari kota terbesar Indonesia Timur yaitu Makassar. Belum lagi disana, di Nusa tenggara, Maluku, Papua dan lainnya, ahh sudahlah, Duh gusti, begitu besar tugas para pemangku Negara saat ini yang benar benar memikirkan tanah airnya untuk sekedar lebih maju demi kesejahteraan rakyatnya. “Jalan akan terus menanjak sampai ke Karangan” tutur Bang Ipang dengan logat khas Makassarnya yang sangat kental.

Mendengar perkataan itu hati seketika menjadi sedikit lega karena perjalanan berat ini akan segera berakhir untuk sementara. Mesin tua kembali meraung raung melahap tanjakan terakhir ini. Hingga akhirnya masuk ke dalam sebuah lapangan luas dan parkir tepat di samping rumah kepala dusun. Sore telah berubah menjadi malam ketika sampai di Karangan, suasana gelap karena listrik mati menyambut. Hingga akhirnya seiring hujan deras yang turun memaksa kami segera beristirahat dan mengakhiri perjalanan panjang untuk menuju Desa Karangan.

Ambe Simen dengan gelang rotan buatannya
Preview
Ambe Simen dengan gelang rotan buatannya

“Gelang ini untuk keselamatan kalian nanti, agar semua yang ada di Gunung Latimojong bisa menerima kalian” ucap Ambe Simen lirih sambil mengikat sebilah rotan di tangan hingga menjadi gelang mungil. Satu persatu dari kami pun bergiliran di ikatkan gelang rotan ini. Mendengar perkataan tersebut sedikit merinding membayangkan perjalanan berat yang sudah menanti di depan mata.

Bukan bermaksud syirik dengan mempercayai sebuah gelang bisa mengusir mara bahaya namun gelang ini adalah sebagai pertanda dan sebuah doa agar kita semua bisa kembali turun dengan selamat.

Ambe Simen sekeluarga adalah penduduk asli Karangan. Dengan pintu terbuka mereka pun sangat ramah menyambut para pendaki yang berkeinginan untuk sekedar menginap dirumah mereka. Walaupun dengan keadaan yang sangat sederhana mereka pun menjamu kami tamu jauh dari pulau seberang dengan berbagai hidangan mulai dari teh, kopi, dan makanan yang tak bisa dibilang murah di desa terpencil seperti karangan ini.

Terima kasih Ambe Simen, terima kasih akan semua kebaikan yang diberikan untuk kami semua. Dan pasti nanti aku akan merindukan tempat ini, desa cantik dengan kesederhanaan dan keramahan para penduduknya.

Bergegas mempersiapkan semua kami pun segera berpamitan. Berkumpul melingkar sambil memunajatkan doa di pelataran luas “Bebas Poliooo… woyooo” teriakan pembakar semangat memecah keheningan. Kaki segera melangkah melewati setapak setapak kecil, Puncak Latimojong tunggu kedatangan kami. 

populerRelated Article