icon-category Technology

Di Balik Terpilihnya Jepang Garap Kereta Cepat Jakarta-Surabaya

  • 27 Sep 2019 WIB
Bagikan :

Setelah melewati proses panjang, Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA) akhirnya meneken Summary Record On The Java North Line Upgrading Project pembangunan kereta semi-cepat Jakarta-Surabaya, Selasa (24/9/2019) lalu. 

Kerja sama itu menegaskan komitmen Indonesia untuk menggandeng Jepang sebagai investor sekaligus penggarap megaproyek dengan biaya Rp80-120 triliun itu, ketimbang Cina yang sebenarnya juga menginginkannya.

Meski Jepang sudah terpilih, toh kesepakatan kedua negara ini menarik untuk dibicarakan, apalagi jika dikaitkan dengan tersingkirnya Cina.

Faktanya Cina pernah beberapa kali menggarap proyek prestisius dari pemerintah Indonesia. Pada Oktober 2015 lalu, misalnya, Cina-lah yang memenangkan tender proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Mereka jugalah yang menggarap proyek MRT Jakarta.

Transfer Teknologi

Salah satu alasan utama yang membikin Indonesia memilih Jepang adalah mereka pernah dikecewakan Cina saat menggarap proyek MRT Jakarta. Dalam kerja sama itu tidak ada alih teknologi dari Cina ke Indonesia.

Perkara ini pernah ditegaskan Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Bindsar Pandjaitan. Di kantornya, 9 September silam, Luhut bilang: "kamu [Jepang] jangan seperti MRT yang dikunci banget."

Dan Jepang menjanjikan itu. Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii menjelaskan JICA berkomitmen melakukan transfer teknologi dengan melibatkan Indonesia dalam prastudi kelayakan.

Transfer teknologi juga sudah disepakati Perdana Menteri Shinzo Abe dan Presiden Joko Widodo pada Januari 2017.

Tak hanya itu, lanjut Ishii, Jepang juga berencana melakukan survei untuk alih teknologi infrastruktur tinggi secara aktif kepada Indonesia dan memaksimalkan penggunaan komponen dalam negeri.

"Dengan adanya kesepakatan tersebut, kedua negara bekerja sama untuk melaksanakan survei awal. Hari ini, kedua belah pihak menyepakati prasyarat untuk mencanangkan preparatory survey," jelas Ishii, Selasa lalu.

Pengamat Transportasi MTI Djoko Setijowarno mengatakan keputusan pemerintah kali ini tepat. Selama ini pemerintah cenderung mengabaikan faktor Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan transfer teknologi ketika bekerja sama dalam proyek dengan negara lain, katanya.

"Kalau transfer ilmu itu, kan, bukan hanya sekadar bangun jadi kontraktor bersama. Tapi sampai dengan minimal, ya, operasional juga," kata Djoko kepada reporter Tirto, Rabu (25/9/2019).

Pemerintah abai terhadap faktor itu saat bekerja sama dengan Cina menggarap kereta cepat Jakarta-Bandung dan MRT. Djoko bercerita, sejumlah rekannya yang terlibat dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak banyak dipekerjakan dalam pembangunan konstruksi.

Hampir seluruhnya, sebut Djoko, digarap oleh pekerja Cina, bahkan hingga buruh kasarnya.

Dia berharap hal serupa tidak terulang dalam pengerjaan proyek kereta semi-cepat Jakarta-Surabaya.

"Jadi perjanjian itu harus jelas. Jangan seperti Jakarta-Bandung. Tiba tiba sudah jadi saja itu KCIC (Kereta Cepat Indonesia-Cina, operator kereta cepat Jakarta-Bandung). Indonesia enggak terlibat langsung. Intinya kalau perjanjian seperti itu (Indonesia tak terlibat) kita itu rugi enggak ada transfer ilmu pengetahuan," jelas Djoko.

Bagi-Bagi Proyek

Selain alasan transfer teknologi, terpilihnya Jepang sebagai penggarap proyek kereta semi-cepat Jakarta-Surabaya juga agar Indonesia tidak dianggap terlalu memihak Cina, terutama di tengah perang dagang AS-Cina yang terus memanas.

"Apalagi Jepang telah menjadi investor terbesar di Asia Tenggara sejak 1980-an. Jepang tidak pernah pergi dan mereka akan selalu memiliki pengaruh besar dalam bisnis dan politik," kata Alvin Camba, peneliti investasi Cina di Asia-Pasifik, sebagaimana dilansir dari South China Morning Post.

Dalam beberapa tahun terakhir, Cina berambisi mengerjakan proyek-proyek besar lewat sejumlah kesepakatan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Namun, sejumlah negara tetap berhati-hati dan berusaha menghindari dampak buruk akibat besarnya investasi Cina itu.

Beberapa negara akhirnya memutuskan untuk menciptakan keseimbangan antara Beijing dan Tokyo.

Filipina, misalnya, memberikan proyek Northrail ke Jepang, sementara proyek Southrail diberikan untuk Cina. Dua negara tersebut membangun fase berbeda dari proyek MindaRail, kereta api terpanjang Filipina.

Indonesia mengambil langkah serupa dalam proyek kereta cepat.

Namun investor lebih banyak memilih Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Soalnya, menurut Edbert Gani, ahli ekonomi-politik dari Centre for Strategic and International Studies, "Indonesia lebih lambat untuk menarik investor asing ketimbang negara Asia Tenggara lainnya."

Baca juga artikel terkait KERETA CEPAT JAKARTA-SURABAYA atau tulisan menarik lainnya Selfie Miftahul Jannah

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini