Home
/
Technology

Gopay Vs OVO: Dompet Digital Bertarung Memaksimalkan Dukungan

Gopay Vs OVO: Dompet Digital Bertarung Memaksimalkan Dukungan
Kolumnis: 19 August 2019
Bagikan :

Awal Agustus lalu, Jabodetabek serta sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah mati listrik. Masyarakat mengeluh. Bukan cuma soal lampu, pendingin ruangan, maupun pompa air yang tak menyala, tapi juga ihwal transaksi keuangan yang terkendala. ATM yang tidak dapat digunakan, begitu pula layanan-layanan pemroses uang elektronik.

Transaksi non-kontan tengah naik daun di Indonesia. Data Bank Indonesia menyebut pada Juli 2019 saja, tercatat ada lebih dari 390 juta transaksi uang elektronik, dengan nominal mencapai lebih dari Rp11,8 triliun. Secara keseluruhan, hingga pertengahan 2019, total nominal rupiah yang telah ditransaksikan melalui uang elektronik mencapai lebih dari Rp56 triliun.

Perolehan setengah tahun 2019 itu telah melampaui capaian tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018, misalnya, total uang elektronik yang ditransaksikan melalui berbagai platform berada di angka Rp47 triliun. Pada 2017, angkanya ada di kisaran Rp12 triliun.

Dompet digital memang sedang naik daun di Indonesia, terutama di tengah kehidupan urban. Tercatat, hingga Mei 2019, ada 38 layanan dompet digital yang direstui pemerintah. Salah satu alasannya, hingga akhir 2017, baru 48,9 persen penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening. Bandingkan, misalnya, dengan kepemilikan ponsel pintar. Merujuk data yang dipacak di Statista, 62,69 juta warga Indonesia menggenggamnya. Data lain menyebut 64,8 persen penduduk Indonesia adalah pengguna internet.

Gopay bukan dompet digital pertama yang lahir di Indonesia. Namun, ia bisa disebut sebagai yang pertama yang mempopulerkan sistem transaksi uang elektronik berbasis server. Cikal bakal Gopay mengakar pada fitur bernama Go-Jek Credit, semacam pulsa yang bisa digunakan membayar layanan Gojek.

Lantas, pada Mei 2016, Go-Jek Credit berubah menjadi Gopay dan berdiri di bawah naungan PT Dompet Anak Bangsa, entitas anak usaha PT Aplikasi Karya Anak Bangsa. Ia beroperasi sebagai operator uang elektronik atas izin dari Bank Indonesia No. 16/98/DKSP tertanggal 17 Juni 2014.

Guna mempopulerkan Gopay, Gojek melakukan beragam promo. Salah satu promo yang dilangsungkan ialah diskon 50 persen tarif perjalanan GoRide. Secara umum, diskon 50 persen tarif itu sering dibaca sebagai diskon untuk mempopulerkan GoRide. Padahal, diskon tersebut lebih pas dibaca sebagai promo bagi Gopay. Alasannya, diskon hanya diberikan pada pengguna GoRide yang membayar ongkos dengan Gopay, tidak dengan uang tunai.

Gopay jadi raja dompet digital Indonesia. Merujuk data App Annie, yang disarikan iPrice, Gopay merupakan layanan dompet digital dengan pengguna aktif bulanan terbanyak dalam tujuh kuartal terakhir. Pada kuartal 2-2019, posisi Gopay dibuntuti oleh OVO, lalu DANA, LinkAJa, dan Jenius.

Lantas, mengapa Gopay begitu mendominasi? Bagaimana pula dengan kekuatan OVO dan LinkAja, yang didukung kekuatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

Kuncinya adalah Memaksimalkan Dukungan

Pada 20 Desember 2017, Nadiem Makarim, pendiri Gojek, mengatakan Gopay menyumbang 30 persen dari total transaksi uang elektronik di Indonesia. Bila melihat dari sisi volume, saat itu ada 104,47 juta transaksi uang elektronik di Indonesia. Jika klaim Nadiem dikonversi, artinya Gopay menyumbang 31,34 juta transaksi uang elektronik Indonesia. Padahal, saat itu, ada 32 penerbit uang elektronik lain yang beroperasi di Indonesia.

Mengapa Gopay dapat memiliki prestasi yang secara statistik sukses? Jawabannya, seturut pengakuan Nadiem, 50 hingga 60 persen segala transaksi yang digunakan untuk membayar berbagai layanan Gojek, mulai dari Goride, Gocar, hingga Gofood, menggunakan Gopay.

Selain digunakan untuk bertransaksi berbagai layanan Gojek, Gopay pun masuk sektor offline. Ia, misalnya, menggunakan teknologi QR Code. Lalu, Gojek pun memiliki Kartuku—kini bernama Spots—perusahaan yang merilis Unified Payment alias EDC Bersama. Tercatat ada lima ribu outlet atau merchant offline yang menggunakan fasilitas Spots. Artinya, ribuan merchant itu dapat digunakan untuk mengoptimalkan kerja Gopay di sektor offline, lepas dari ekosistem Gojek.

Strategi Gopay diikuti pula OVO, dompet digital milik Lippo. OVO sendiri, sebagaimana diwartakan KrAsia, memproses 250 ribu transaksi saban harinya.

Harianto Gunawan, direktur OVO, mengatakan transaksi yang paling banyak dilakukan via OVO adalah transportasi, online store, lalu ritel.

Infografik OVO vs GoPay

Kekuatan transaksi OVO itu terutama ditopang Grab dan Tokopedia, yang jadi mitra online mereka. Mengapa Grab, yang awalnya memiliki Grab Pay, dan Tokopedia, yang awalnya memiliki uang elektronik sendiri, menggandeng OVO?

Jawabannya, Lippo, punya hubungan baik dengan Softbank, firma investasi yang mengucurkan dana pada Grab juga Tokopedia. Salah satu hubungan harmonis Lippo-Softbank termujud dalam aksi kerjasama Softbank dengan PT Link Net Tbk, anak usaha Lippo.

Di bagian offline, OVO didukung segala bisnis ritel milik Lippo, termasuk, mewajibkan pengunjung mall-mall milik Lippo untuk membayar parkir via OVO. Strategi memaksimalkan dukungan nampaknya akan diterapkan juga pemain-pemain dompet digital lainnya. DANA, dompet digital milik EMTEK, juga demikian. Ia kini jadi salah satu opsi pembayaran di Bukalapak yang sama-sama dimiliki EMTEK.

Sayangnya, EMTEK kurang memiliki kekuatan offline. Bisnis EMTEK umumnya adalah media, seperti SCTV. Namun, mereka memiliki Indopay, layanan semacam Kartuku milik Gojek. Indopay mengklaim mereka memiliki lebih dari 143 ribu mesin EDC yang tersebar di lebih dari 73 ribu merchant.

LinkAja pun nampaknya akan melakukan strategi yang sama. Ia bahkan berpotensi menjadi raja dompet digital Indonesia. Kekuatannya jelas; dukungan penuh pemerintah melalui berbagai BUMN. Andaikan 10 persen gaji pegawai-pegawai BUMN ditransfer via LinkAja, pemain dompet digital lain patut ketar-ketir.
Baca juga artikel terkait GOPAY atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin
populerRelated Article