Home
/
Automotive
Ford Mendadak Pergi dari Indonesia untuk Hindari Pajak?
Hukumonline14 September 2016
Bagikan :
Preview
Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah dapat melakukan pemeriksaan terhadap dugaan kecurangan pajak yang dilakukan Ford Motor Indonesia untuk produk Everest.
"Modus memanipulasi spesifikasi untuk menghindari PPnBM sangat dimungkinkan. Tetapi perlu diteliti lebih lanjut," kata Prastowo yang juga Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) di Jakarta, Rabu (14/9).
Yustinus mengatakan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dapat memeriksa dugaan ini. Mengingat, hal itu merupakan suatu bentuk kecurangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan pajak yang lebih besar.
"Kalau itu benar terjadi maka yang jadi pertanyannya kenapa kok bisa terjadi, berarti pengawasannya tidak maksimal," ujar Yustinus.
Seperti diberitakan, keluarnya Ford secara tergesa-gesa dari Indonesia diduga tidak lepas dari persoalan PPnBM mobil Ford Everest. Ford diduga menyiasati pajak dengan mengubah spesifikasi dan memodifikasi mobil Everest sebelum dan sesudah impor.
PT Ford Motor Indonesia (FMI), agen pemegang merek Ford, mengimpor Everest yang diproduksi di pabrik Auto Alliance Thailand/AAT (www.autoalliance.co.th) dengan model 7 seat. Untuk pasar Indonesia mereka mengirimkannya terlebih dahulu ke RMA khusus model 4x4 dengan tujuan untuk memodifikasi menjadi 10 seat sebelum ke tangan konsumen di Indonesia.
Hal ini untuk menyiasati PPnBM impor di Indonesia supaya jauh lebih murah. Spesifikasi 10 seat ini diterima hingga gudang FMI di Jakarta. Namun sampai konsumen di Indonesia, Ford Everest dikembalikan ke awal seperti yang diproduksi di Ford Thailand dengan spesifikasi 7 seat. (Baca Juga: Tolak Tawaran Ganti Rugi, 31 Dealer Akan Gugat Ford)
Yustinus menduga modus perubahan spesifikasi umumnya dilakukan melalui manipulasi dokumen importasi barang. Jika dugaan itu terbukti, Ford bisa saja dijerat secara hukum karena dianggap telah melakukan pidana perpajakan karena menyampaikan informasi yang tidak benar sehingga merugikan negara.
Adapun ancaman pidananya dapat mengacu pada UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 39, sanksi terhadap pelanggaran pajak itu adalah hukuman penjara tiga tahun dan denda empat kali dari pajak yang tidak dibayar.
Menanggapi hal tersebut, Communication Director PT Ford Motor Indonesia (FMI), Lea Kartika Indra, mengaku pihak Ford patuh terhadap peraturan dan kebijakan Pemerintah Indonesia, termasuk persyaratan masuk bea cukai dan kewajiban pajak impor produk kendaraan mereka.
"Kepatuhan ini didasarkan pada izin resmi dari pemerintah Indonesia untuk setiap program kendaraan kami sebelum impor dan penjualan domestik kendaraan tersebut dilakukan," kata dia.
Perhatikan Layanan Purna Jual
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta produsen mobil Ford untuk memperhatikan layanan purna jual terhadap konsumen yang telah membeli produknya di Indonesia. (Baca Juga: Ingin Hengkang dari Indonesia, David Tobing Ancam Gugat Ford)
Sekretaris YLKI Agus Suyanto menilai Ford merupakan entitas bisnis yang masih beroperasi dan tidak dalam kondisi bangkrut, sehingga seharusnya bukan menjadi alasan untuk tidak memberikan layanan purna jual kepada konsumen.
"Mobil itu produk yang kontinyu, beda dengan barang yang sekali habis. Apalagi produk mereka juga masuk secara legal dan diterima masyarakat," kata Sekretaris YLKI, Agus Suyanto.
YLKI meminta Ford untuk memperhatikan nasib konsumen di Indonesia yang telah membeli produknya, setelah mereka resmi menarik investasinya di Indonesia pada awal 2016. Padahal mobil buatan produsen Amerika Serikat ini tercatat resmi dan legal masuk ke Indonesia dan telah dipergunakan sebagian besar masyarakat.
YLKI menegaskan Ford harus tetap menjalankan layanan purna jual dan tidak sepantasnya menjadikan persaingan dagang sebagai alasan menutup bisnis dan menghentikan layanan purna jual. Pemerintah juga diminta memastikan Ford dapat memenuhi semua kewajibannya kepada konsumen.
"Kecuali kalau Ford di seluruh dunia bangkrut, itu lain soal kalau sampai tidak memberikan layanan purna jual. Jadi kalau mereka hengkang dari Indonesia kemudian lepas tangan tapi di negara lain masih berjalan, itu gak fair namanya. Ini dituntut iktikad baik dari Ford," tegas Agus.
Agus mengingatkan pemerintah juga harus mengantisipasi kejadian serupa tidak terjadi pada perusahaan lain. Untuk itu, Kementerian Perindustrian diminta membuat ketentuan yang mengikat bagi para investor untuk melindungi konsumen.
Sponsored
Review
Related Article