Home
/
Sport

Di Balik Hengkangnya Massimiliano Allegri dari Juventus

Di Balik Hengkangnya Massimiliano Allegri dari Juventus

Kolumnis: 18 May 2019
Bagikan :

Pada musim panas 2014 lalu, sebagai pelatih anyar Juventus, Max Allegri langsung disambut oleh 300 penggemar Si Nyonya Tua saat pertama kali datang ke Vinovo, tempat latihan Juventus. Namun bukannya bersikap ramah mengucapkan selamat datang sekumpulan penggemar Juventus itu justru melancarkan protes: mereka menyoraki, menyiuli, serta melemparkan tomat ke arah mantan pelatih AC Milan tersebut.

Allegri ternyata tahu penyebab para penggemar Juventus bersikap seperti itu. Menurutnya, mereka menganggap bahwa “ia adalah orang brengsek” -- siapa yang tidak berpikir seperti itu terhadap seseorang senang yang bermain di kasino, gemar bertaruh dalam pacuan kuda, dan pernah melarikan diri dari pesta pernikahannya?

Semula, Allegri tak ambil pusing dengan perlakuan para penggemar Juventus tersebut. Malahan, Allegri justru membalasnya dengan segudang prestasi. Selama lima musim di Juve, ia mampu mempersembahkan 11 gelar, 5 di antaranya adalah gelar scudetto yang diraih secara berturut-turut, dan  4 di antaranya adalah gelar Coppa Italia. Selain itu, ia juga dua kali berhasil membawa Si Nyonya Tua menembus babak final Liga Champions Eropa.


Namun, menurut Allegri,  sikap para penggemar Juventus terhadapnya ternyata tak pernah berubah. Allegri pun berang.“Aku sempat berpikir, bayangkan jika aku tidak pernah memberikan beberapa gelar. Mereka barangkali akan membakarku!,” kata Allegri saat konferensi pers pada awal Mei 2019 lalu. Pernyataan Allegri seolah menyindir betapa tidak tahu terimakasihnya suporter Juventus. 

Ditambah dengan kegagalan Juventus di Liga Champions Eropa musim ini, para penggemar Juventus jelas kebakaran jenggot mendengar mendengar pernyataan Allegri tersebut. Namun sebelum segalanya bertambah buruk, Allegri ternyata membikin kejutan terlebih dahulu. Meski masih memiliki kontrak hingga tahun 2020 nanti, ia akhirnya memilih untuk meninggalkan Juventus pada akhir musim 2018-2019.

Pada Jumat [17/5] siang, Juventus lantas memberikan pengumuman resmi, “Massimiliano Allegri tidak akan memimpin Juventus mulai musim 2019-2020.”

Kegagalan di Liga Champions

Dalam sebuah wawancaranya dengan The Telegraph pada tahun 2018 lalu, Allegri pernah memberikan pernyataan menarik. Sebagai seorang pelatih, ia ternyata lebih senang mengandalkan intuisi.

“Aku bukan tipe pelatih yang terlalu fokus terhadap taktik maupun analisis karena aku mempunyai insting... Pelatih, menurutku, mengambil sebuah keputusan berdasarkan sensasi dan persepsi. Kalau tidak, itu sama saja dengan Anda akan selalu duduk di depan komputer dan sebuah pertandingan bola akan seperti permainan dalam PlayStation. Aku bukan tipe pelatih yang seperti itu,” tutur Allegri.

Pernyataan Allegri itu lantas menjadi salah satu alasan mengapa Juventus tak pernah memiliki ciri khusus di dalam setiap permainannya. Di bawah Allegri, Juventus bukan tim yang mempunyai filosofi permainan tertentu, tapi juga jauh dari kesan pragmatis. Saat ia berpikir Juventus sebaiknya bermain bertahan, ia akan membikin Juventus bermain seperti itu. Sebaliknya, saat ia ingin Juventus bermain menyerang, Juventus juga tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.

Selain itu, Allegri juga mempunyai teori bahwa kemenangan dalam pertandingan sepakbola akan ditentukan oleh seorang pemain bintang.

“Kita dapat membicarakan skema dan organisasi permainan selama berjam-jam,” kata Allegri pada 2014 silam. “Tetapi pertandingan dimenangkan oleh seorang pemain. Jika Anda memiliki Messi, Anda akan memulai pertandingan dengan kemenangan 2-0. Begitu pula saat Anda memiliki Christiano Ronaldo.”


Dengan cara Allegri itu, Juventus memang berhasil meraih kesuksesan di Italia. Namun dalam gelaran Liga Champions Eropa, Juventus ternyata masih sangat akrab dengan kegagalan. Merasa tak bisa begitu secara terus menerus, demi meraih gelar Liga Champions musim 2018-2019, Juventus kemudian memberikan modal penting untuk Allegri: mereka nekat mengeluarkan uang sebesar 100 juta euro guna mendatangkan Cristiano Ronaldo dari Real Madrid. 

Semula, Juventus memang tampak melakukan sesuatu yang benar. Setelah berhasil lolos dari putaran grup tanpa mengeluarkan banyak keringat, mereka berhasil mengandaskan perlawanan Atletico Madrid pada babak 16 besar. Juventus, yang sempat kalah 0-2 dalam pertandingan leg pertama, berhasil unggul agregat 3-2 setelah Ronaldo mencetak trigol dalam pertandingan leg kedua. Namun pada babak perempatfinal, Ajax Amsterdam mampu membuktikan bahwa Juventus ternyata keliru dalam mengambil langkah.

Dalam dua pertandingan babak perempat-final, Ajax seaakan mengajarkan kepada Juventus bahwa, untuk memenangi Liga Champions Eropa, sebuah tim tidak hanya bisa mengandalkan intuisi atau pemain bintang. Sementara Juventus tak memiliki identitas, Ajax mempunyai filosofi permainan menyerang yang didukung oleh hitung-hitungan matang. Alhasil, tidak hanya kalah agregat 2-3, Si Nyonya Tua juga berhasil dipermainkan.

Dari sana, penggemar Juventus pun tak perlu berpikir dua kali untuk kembali menjadikan Max Allegri sebagai kambing hitam.  

Dari Pep, Pochettino, hingga Sarri

Kepastian hengkangnya Allegri dari Juventus tentu dibarengi dengan kabar tentang siapa yang bakal menjadi pengganti. Sejumlah nama lantas dikaitkan, tapi beberapa nama menampiknya. Dan salah satu yang yang menampik ialah Pep Guardiola.

“Aku tidak akan pergi ke Italia, berapa kali aku harus mengatakan hal tersebut?” kata Pep Guardiola, dilansir dari Guardian. “Aku akan berada di sini dalam dua musim ke depan, selama City masih membutuhkanku. Aku puas bekerja di sini dan aku tak akan pergi ke mana-mana. Seperti yang aku selalu bilang, aku adalah pelatih Manchester City.”   

Lepas dari Pep, Mauricio Pochettino kemudian dikabarkan menjadi sasaran. Sayangnya, tak jauh beda dengan Pep, kedatangan pria asal Argentina tersebut ke Turin juga sulit direalisasikan. Sementara penolakan Pep berkaitan dengan komitmen, terutama setelah berhasil membawa Spurs melaju ke partai puncak Liga Champions 2019, Pochettinho dinilai akan “berharga mahal”.

Dari sana, dalam salah satu tulisannya di SNAI Sportnews, Tancredi Palmeri, salah satu jurnalis asal Italia, lantas mempunyai spekulasi menarik: mengapa Juventus tidak mendatangkan Maurizo Sarri? Untuk sukses di Eropa, bukankah Juventus membutuhkan pelatih revolusioner?


Menurut Palmeri, masa depan Sarri bersama Chelsea belum begitu jelas. Meski Sarri berhasil membawa Chesea menembus Liga Champions Eropa musim depan, ia tidak disukai para penggemar Chelsea. Palmeri kemudian menilai bahwa nasib Sarri kemungkinan besar akan ditentukan setelah laga final Liga Europa. Jika Chelsea menang, ia kemungkinan bertahan. Namun jika Chelsea kalah, bukan tidak mungkin ia dipecat.

Untuk semua itu, Sarri jelas layak menjadi salah satu kandidat yang patut untuk dipertimbangkan.
Baca juga artikel terkait LIGA ITALIA atau tulisan menarik lainnya Renalto Setiawan

populerRelated Article