Home
/
Digilife

Cewek Indonesia Diblokir Bule di Aplikasi Hoop, Bukti Etika Medsos Buruk?

Cewek Indonesia Diblokir Bule di Aplikasi Hoop, Bukti Etika Medsos Buruk?

-

Hani Nur Fajrina22 May 2020
Bagikan :

(Ilustrasi: Unsplash)

Uzone.id -- Fenomena pengguna perempuan Indonesia di aplikasi Hoop mendapat penolakan dari beberapa pengguna laki-laki asal luar negeri karena kelakuan yang dianggap menyebalkan, bisa dibilang menjadi bukti bahwa orang Indonesia masih kurang dalam beretika media sosial.

Jika kalian mengikuti pembahasan ramai di jagat Twitter beberapa waktu lalu, sempat ada kontroversi yang menyoroti kelakuan sejumlah pengguna Hoop asal Indonesia --dalam hal ini perempuan-- yang dianggap memalukan.

Cewek Indonesia dikenal doyan membuat prank ketika berkenalan dengan bule asing di aplikasi kencan Hoop yang terintegrasi dengan Snapchat. Selain prank, mereka juga tak sungkan meminta foto bugil, hingga sengaja screenshot percakapan pribadi mereka dan foto-foto para bule itu di Snapchat dan TikTok tanpa izin.

Kelakuan tersebut langsung membuat sejumlah laki-laki dari berbagai negara secara terbuka menolak menerima request pertemanan dari perempuan Indonesia di Hoop, kebanyakan melalui status di Hoop itu sendiri seperti “no Indonesian women please” atau “don’t add me if you’re an Indonesian.

Baca juga: Mengenal Aplikasi Kencan Hoop, 'Tindernya' Snapchat

Dari pandangan aktivis media sosial Enda Nasution, ada hal yang disayangkan dari fenomena ini.

“Pertama, jika terjadi penolakan seperti itu, kesannya kan mereka jadi generalisir ya, dan jadinya merugikan citra orang Indonesia. Padahal ‘kan pasti gak semua pengguna melakukan itu, hanya oknum-oknum tertentu saja,” ungkap Enda saat berbincang dengan Uzone.id, Rabu (20/5).

Dia melanjutkan, “kalau ditanya kenapa mereka bersikap seperti itu, ya mungkin bisa jadi karena demi konten. Kedua, mungkin ada semacam kebanggaan karena mereka telah interaksi atau mendapat respons dari cowok-cowok bule itu.”

Menurut Enda, apabila konten yang disebarkan itu sifatnya privasi, seharusnya netizen Indonesia bisa mengerti dan menghargai hal tersebut agar tidak diumbar.

“Prinsipnya gini, kalau sifatnya private, ya jangan diunggah. Siapapun yang merasa privasinya diumbar tanpa izin, berhak untuk marah. Banyak netizen Indonesia itu suka keliru, yang kita posting itu dianggap berada di ruang pribadi kita, tapi sebenarnya itu tetap ruang publik. Apapun wadahnya, jika dapat dikonsumsi oleh lebih dari 2 orang, ya itu sudah termasuk konsumsi publik, mau itu media sosial maupun WhatsApp Group,” terang Enda.

Baca juga: Cewek Indonesia Dicap Memalukan di Aplikasi Kencan Hoop, Ini Alasannya

Dari sini, Enda mengatakan, netizen Indonesia perlu tahu mana ruang pribadi dan mana ruang publik. Jika sampai ada orang lain merasa terganggu, tandanya ada yang salah dengan sikap kita -- entah karena tidak izin, atau konten tersebut memang bukan untuk konsumsi umum.

Etika bermedsos masih kurang
Enda kemudian menunjukan poin lainnya mengenai etika bermain media sosial. Dia mengaku, netizen di Indonesia masih sangat kurang dari sisi literasi digital.

“Menurut saya memang perlu sih semacam etiket dan panduan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak seharusnya dilakukan di media sosial. Masyarakat Indonesia belum aware dengan hal seperti ini,” katanya.

Dia menyambung, “dan menurut saya untuk membangun etika baik itu pasti penuh tantangan, sebab gak semua orang juga mau repot baca soal panduan etika menggunakan aplikasi medsos tertentu, efektifnya memang learning by doing. Sejauh ini kesadaran soal privasi di Indonesia masih rendah banget.”

Selain dari sisi etika, Enda tak lupa menyinggung soal kondisi yang ‘diderita’ banyak orang Indonesia, yakni inferiority complex, atau sebuah kondisi psikologis di mana orang merasa lebih rendah dibanding pihak lain dalam suatu standar dalam sistem.

Hal ini diperhatikan Enda menjadi penyebab soal kebaggaan terkait kebiasaan asal screenshot dan pamer percakapan pengguna Hoop dengan para bule tersebut.

Baca juga: Begini Cara Bule Tolak Cewek Indonesia di Aplikasi Hoop

“Saya perhatikan ada segelintir orang Indonesia yang inferiority complex juga, dan hal ini mempengaruhi cara pandang diri seseorang terhadap apa yang dia lakukan. Misal, dengan mereka mengumbar screenshot obrolan dengan bule, mereka merasa keren karena sudah bisa interaksi dengan orang asing yang menurut mereka, orang-orang serba ‘lebih’ dari mereka,” jelas Enda.

Padahal, menurut Enda fungsi media sosial di era seperti sekarang yang dapat menembus jarak untuk menambah kepercayaan diri.

“Harusnya, dengan adanya akses ke dunia global melalui media sosial gitu, bisa menambah kepercayaan diri. Dengan kita bisa berkenalan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia, justru harusnya membuat kita semua berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,” tutur Enda lagi.

Dia menyambung, “jadi harapan saya, pemanfaatan internet itu sebijak-bijaknya dapat memungkinkan kita berinteraksi dengan orang-orang global untuk belajar banyak hal dari satu sama lain, dan melihat bahwa, oh kita itu sama-sama manusia, kita semua sama, setara, tidak ada yang lebih dan kurang.”

populerRelated Article