Bahaya Memberi Sebutan 'Anak Nakal'
Setiap orang tua pastinya menginginkan anaknya menjadi pribadi yang membanggakan. Namun, sebelum itu terwujud, setiap orang tua semestinya bisa mengenali nilai-nilai penting dalam pengembangan karakter anak.
Pasalnya, tumbuh dan berkembangnya setiap anak tergantung dari pikiran bawah sadar yang mereka dapat dari lingkungannya. Terutama, tentang sugesti dan nilai-nilai yang selama ini ditanamkan oleh orangtua mereka.Dalam hal ini, setiap orang tua berkontribusi membentuk pikiran bawah sadar anak, yang dapat berpengaruh pada kepribadian dan karakter saat mereka dewasa.
Misalnya, saat dewasa anak-anak tiba-tiba menjadi agresif di luar rumah, sering terlibat perkelahian, bahkan sampai berbuat kriminalitas.
Terkait hal ini, menurut Pakar Islamic Hypnoparenting, Eri Setiawan, biasanya karena sang anak sering dilabeli sebagai 'anak nakal' oleh orangtua mereka sejak mereka masih kecil.
"Begitu juga dengan anak yang menganggap diri mereka bodoh. Ini biasanya dipengaruhi oleh lingkungan. Mungkin dia sering dibanding-bandingkan dengan saudaranya, dianggap bodoh sama orangtua atau guru mereka. Sugesti ini sudah tertanam dan mengakar pada mereka," ujar Eric dalam seminar yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Minggu (5/2/2017).
Sugesti-sugesti seperti inilah, kata dia, yang masuk dan memenuhi alam bawah sadar, yang bisa sangat berbahaya bagi pembentukan akhlak anak di masa depan.
Kemampuan dalam membentuk pikiran bawah sadar anak yang dimiliki orangtua, kata Eric, seharusnya bisa dimanfaatkan dengan memasukkan sugesti-sugesti baik untuk mereka.
Misalnya, untuk anak PAUD-SMP, orangtua bisa menggunakan sugesti langsung. Yakni dengan dialog atau komunikasi penuh cinta. Biasakan untuk menggunakan kata-kata positif yang membangun pada mereka.
Selain itu, cobalah untuk lebih menghargai apa yang dilakukan anak. Dengan cara ini, anak merasa lebih dihargai dan dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka.
"Sedangkan untuk mereka yang remaja usia SMP akhir sampai SMA, mereka sudah bisa berpikir tentang masa depan. Ganti semua kalimat dengan baik. Misalnya anak mau main game tapi belum shalat. Bilang 'Semakin cepat kamu shalat, kamu makin cepet main gamenya'. Ini perintah, tapi anak itu menganggapnya bukan kalimat perintah," ujarnya.
Gunakan juga bahasa tubuh yang mendukung ucapan orang tua. Tataplah matanya, sentuh bahunya atau tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tulus mengatakannya.
"Beri juga dia contoh dan konsisten. Mau anak shalat, orangtua juga shalat. Mau anak beriman, orangtua juga beriman. Jangan malu minta maaf kalau melakukan kesalahan, ini adalah hal positif yang perlu dicontohkan. Jangan merasa hina minta maaf sama anak," tutup dia.