Sejarah Selfie: Dari Seni Rupa Hingga Gejala Hypocoristics
Andai Nathan Hope tidak terjatuh karena mabuk dan melukai bibirnya sendiri, kata selfie mungkin tak pernah ada – atau tak sampai kepada kita lewat jalan yang sama.
Ceritanya begini: Hope, seorang mahasiswa Australia, minum-minum sampai mabuk di perayaan ulang tahun kawannya. Karena mabuk, ia terjatuh. Bibirnya luka dan harus dijahit. Nathan kemudian mengunggah foto jahitan di bibirnya ke forum ABC Online, tertanggal 13 September 2002.
Selain mengunggah foto, Hope menulis: “Um, drunk at a mates 21st, I tripped ofer [sic] and landed lip first (with front teeth coming a very close second) on a set of steps. I had a hole about 1cm long right through my bottom lip. And sorry about the focus, it was a selfie.” Dan terciptalah kata selfie berkat Hope.
Bukti tertua penggunaan kata selfie memang tulisan Hope di forum ABC Online tersebut. Namun menyebut Hope sebagai pencipta kata selfie tidak sepenuhnya tepat. Sembarang orang Australia bisa menjadi pencipta kata selfie.
Orang-orang Australia memang gemar membentuk slang menggunakan sufiks -ie dan -y. Barbecue menjadi barbie. Television menjadi telly. Mosquito menjadi mozzie. Australia menjadi Aussie. Self-portrait, karenanya, menjadi selfie. Hope sendiri menggunakan nama Hopey di forum ABC Online. Fenomena bahasa ini disebut hypocoristics.
“Saya tidak menciptakan kata itu,” ujar Hope kepada ABC pada 2013. “Kata itu slang umum pada saat itu, digunakan untuk merujuk foto diri. Sesederhana itu.”
Pada 2013, seiring dengan meningkatnya penggunaan kata tersebut, selfie dinobatkan sebagai The Oxford Dictionaries Word of the Year. Mengingat pada awalnya tak ada ejaan resmi untuk kependekan self-portrait, bisa saja yang menjadi kata terpilih adalah selfy. Jika Hope tidak meninggalkan jejak daring di ABC Online, mungkin yang terpilih malah frasa self-portrait – atau malah self-portraiture.
Susah Payah untuk Selfie
Tidak seperti kata selfie yang baru muncul di awal abad ke-21, gagasan self-portraiture (potret diri) sudah berusia sangat tua. Potret diri pertama menggunakan kamera saja sudah ada sejak 1893.
Hingga ada bukti lain yang berusia lebih tua, Robert Cornelius adalah orang pertama yang mengambil potret diri menggunakan kamera. Cornelius memotret dirinya sendiri di belakang toko lilin keluarganya di Philadelphia, Amerika Serikat. Dengan teknologi saat itu, Cornelius harus diam di tempat setidaknya selama 15 menit untuk mengambil potret diri.
Proses pengambilan potret diri Anastasia Nikolaevna, antara 1913-1914, juga memakan waktu lama. Kepada ayahnya, Kaisar Rusia Nikolai II, Nikolaevna menulis dalam sepucuk surat: “Saya mengambil foto saya melihat ke cermin. Sulit sekali, tangan saya gemetar.”
Seperti Nikolaevna, tangan Joseph Byron dan kawannya juga kemungkinan besar gemetar saat mengambil selfie di atap sebuah bangunan di New York pada 1920. Bagaimana tidak, kamera saat itu adalah sebuah kotak besar yang tidak ringan. Tidak cukup satu orang untuk mengambil selfie saat itu.
Wefie itu dilakukan di atap sebuah studio di Fifth Avenue New York, tepat di seberang St. Patrick Cathedral. Ia berfoto bersama empat orang koleganya yang sama-sama berprofesi fotografer. The New York Times pernah menyebut foto ini sebagai salah satu iklan foto studio di New York. Kini foto tersebut telah didigitalisasi dan menjadi koleksi Museum of The New York City.
Potret Diri dalam Seni Rupa
Potret diri dapat dilacak mundur sampai ke Mesir Kuno. Namun lukisan yang tertinggal dari masa tersebut tak banyak jumlahnya; berbeda dengan potret diri berbentuk patung yang lebih tahan lama ketimbang goresan-goresan di dinding.
Lukisan potret diri tertua yang masih bertahan dilukis pada 1433 oleh Jan Van Eyck, berjudul Man in a Red Turban. Van Eyck tentu tidak hanya melukis diri sendiri sepanjang hidupnya. Namun bahkan dalam lukisan yang objeknya adalah orang lain, Van Eyck kerap hadir.
The Arnolfini Portrait (1434) menampilkan Giovanni di Nicolao Arnolfini dan istrinya, Costanza Trenta. Sekilas, tampak hanya ada Arnolfini dan Trenta dalam karya paling terkenal Van Eyck tersebut. Namun jika diperhatikan lebih saksama, Van Eyck muncul lewat pantulan cermin yang ada di belakang pasangan saudagar kaya Italia tersebut.
Sneaky self-portrait semacam ini juga ditemukan dalam banyak lukisan era Renaisans Italia. Pelukis-pelukis Italia pada era tersebut cenderung menghindari lukisan potret diri formal karena kebiasaan yang berlaku. Namun seperti Van Eyck, mereka juga diam-diam hadir – dan tidak selalu jelas.
Michelangelo Buonarroti, misalnya. Dalam The Last Judgment, lukisan dinding Kapel Sistine, Michelangelo melukis karakter-karakter Injil, termasuk Santo Bartolomeus, lengkap dengan atribut masing-masing karakter. Santo Bartolomeus selalu digambarkan membawa kulit tubuhnya sendiri, dan dalam The Last Judgment pun sama. Hanya saja, kulit yang dibawa Santo Bartolomeus tak berwajah dirinya, tetapi memiliki wajah Michelangelo.
Kehadiran pelukis di antara objek-objek yang bukan dirinya berlanjut di Era Barok. Di era ini Diego Velazquez menghasilkan karya agung berjudul Las Meninas, salah satu lukisan penting dalam sejarah seni.
Alih-alih hadir diam-diam, potret diri Velazquez dalam Las Meninas tampil secara terang-terangan sementara Raja dan Ratu Spanyol, Felipe IV dan Mariana dari Austria, hanya ditampilkan lewat pantulan cermin, di salah satu dinding ruangan, di atas Puteri Margarita Teresa yang tepat berada di tengah lukisan. Ini langkah yang terhitung berani.
Las Meninas tidak hanya memberi gambaran kehidupan sehari-hari di Istana Alcazar (sekarang Istana Kerajaan Madrid), tapi juga mengubah siapa saja yang melihat lukisan ini menjadi Raja dan Ratu Spanyol – dengan kata lain, menjadi objek yang dilukis oleh Velazquez sendiri.
Dalih Para Seniman Hebat Membuat Potret Diri
Pelukis yang tidak pernah sekali pun membuat potret diri adalah jenis langka. Bahkan Leonardo Da Vinci punya potret diri. Sejak goresan pertama di Mesir Kuno hingga saat ini, seniman melukis potret diri atas dasar beragam alasan.
Albrecht Dürer, pelukis era Renaisans Jerman, adalah pelukis potret diri pertama yang benar-benar produktif menghasilkan karya jenis ini. Dürer melukis tidak kurang dari selusin potret diri. Dalam setiap karyanya, Dürer menampilkan gambaran ideal dirinya sendiri: terawat dan rapi, serta selalu mengenakan pakaian Italia model terbaru untuk menunjukkan kesuksesannya.
Produktivitas Dürer, walau demikian, tak ada apa-apanya jika dibandingkan Rembrandt Harmenszoon van Rijn. Kemajuan zaman membuat para pelukis Era Barok (juga disebut Rokoko dan Neo-Klasik) seperti Rembrandt bisa menghasilkan jauh lebih banyak karya ketimbang para pendahulunya. Tercatat, Rembrandt menghasilkan lebih dari 40 potret diri.
Lukisan-lukisan potret diri Rembrandt dihasilkan dalam rentang waktu yang panjang. Karya-karya yang menampilkan dirinya sendiri adalah rekaman proses penuaan Rembrandt, juga rekaman tentang perubahan dirinya dari seorang pemuda tanpa arah menjadi pelukis kenamaan. Bahkan ketika kegagalan melanda di usia tua, Rembrandt tak menyembunyikan kenyataan lewat lukisan.
Sementara karya-karya Rembrandt jujur, lukisan-lukisan potret diri Claude Monet meninggalkan pertanyaan. Monet sendiri dikenal sebagai pelopor gaya lukisan impresionis, sehingga potret dirinya pun bisa saja secara sengaja dibuat tidak mirip. Namun Monet juga penderita katarak sehingga penglihatannya terganggu, dan bukan tidak mungkin apa yang ia lukiskan adalah benar-benar apa yang ia lihat.
Pertanyaan yang sama tidak berlaku untuk karya-karya Henri de Toulouse-Lautrec yang, seperti Monet, berasal dari Prancis. Potret diri Toulouse-Lautrec tampak normal. Nyatanya, Toulouse-Lautrec punya tubuh yang tidak proporsional. Kecelakaan pada masa kanak-kanak membuat kedua tulang pahanya patah dan kakinya tak tumbuh. Toulouse-Lautrec adalah sosok dengan tubuh atas orang dewasa dan tubuh bawah anak-anak.
Seperti Toulouse-Lautrec, Frida Kahlo terbatasi oleh kecelakaan. Terbaring di tempat tidur, Frida Kahlo hanya punya satu model untuk lukisan-lukisannya: dirinya sendiri. Potret diri Frida Kahlo terkenal penuh warna namun merupakan penggambaran rasa sakit.
Tidak lengkap rasanya jika tidak menyinggung Vincent Van Gogh, ikon pelukis dengan jiwa tersiksa. Van Gogh menderita beragam jenis ketidakstabilan mental, termasuk delusi dan gangguan bipolar.
Mei 1889, Van Gogh secara sukarela masuk ke Rumah Sakit Jiwa Saint Remy. Juli tahun yang sama, ia diizinkan meninggalkan tempat tersebut dan terus melukis sebagai bagian dari terapi. Sejak dan setelah Saint Remy adalah masa-masa paling produktif dalam karier Van Gogh yang pendek sebagai pelukis. Ia melukis Starry Night semasa masih di Saint Remy dan Self-Portrait: Saint-Remy tidak lama setelah keluar.
Lukisan yang sekarang menjadi milik Musée d'Orsay tersebut adalah potret krisis internal Van Gogh. Mata Van Gogh dalam lukisan tersebut adalah jalan masuk audiens ke dalam kepala sang pelukis. Pilihan warna dan sapuan kuasnya menunjukkan citra seseorang yang berjuang keras melawan ketakutan-ketakutan dalam dirinya.
Semua lukisan potret diri Van Gogh (jumlahnya lebih dari 30), sebenarnya, menunjukkan citra yang sama – termasuk Portrait of the Artist Without a Beard (1889), lukisan potret diri termahal sepanjang masa.
Baca juga artikel terkait SELFIE atau tulisan menarik lainnya Taufiq Nur Shiddiq