Home
/
News

Sekelumit Sejarah Tiap Tradisi Idul Fitri

Sekelumit Sejarah Tiap Tradisi Idul Fitri
Rina Nurjanah26 June 2017
Bagikan :

Lebaran, nama lain yang diberikan kepada hari raya Idul Fitri ini, berasal dari tradisi Hindu yang berarti selesai, usai, atau habis. Kata lebaran juga terdapat dalam bahasa Jawa Ngoko, yang berarti wis bubar sebagai istilah yang menandakan berakhirnya bulan Ramadan dan datangnya bulan Syawal. 

Lebaran di nusantara dirayakan dengan berbagai kebiasaan mulai dari pemberian tunjangan hari raya (THR) hingga halalbihalal. 

THR lahir dari persoalan ekonomi yang melilit di dalam situasi politik yang tidak menentu. Setelah perjuangan yang dilakukan sejak 1951, THR kini menjadi hak seluruh pekerja. 

Sementara itu, tradisi menggunakan baju baru ketika hari raya, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, dimulai sejak abad ke 16 di keluarga Kerajaan Banteng. 

Keinginan keluarga kerajaan untuk mengenakan baju baru ketika hari raya itu kemudian ditanggapi oleh para penduduk, yang mayoritas petani, kemudian dengan menjadi tukang jahit dadakan. Banyak orang menilai bahwa baju baru itu sebagai simbol diri "lahir atau kembali fitri (suci)" setelah menjalankan ibadah puasa. 

Namun simbol, bisa saja sekadar tanda tanpa makna, jika kita tidak menghayatinya. 

Tradisi lainnya adalah mudik yang dilakukan sejak zaman Majapahit. Meskipun istilah tersebut baru lahir kemudian dan menjadi tren setelah urbanisasi besar-besaran, para perantau Majapahit dulu pergi ke daerah-daerah yang telah ditaklukan. Kemudian mereka akan pulang untuk sementara ke Jawa demi berkumpul bersama keluarga. 

Mudik kemudian menjadi tradisi dan agenda nasional yang rutin setiap tahunnya. 

Sementara petasan, yang biasanya ramai di bulan-bulan Ramadan hingga lebaran, dipengaruhi oleh budaya Tiongkok. Petasan menjadi alat komunikasi, penyampai kabar adanya pesta, acara besar, dan atau syukuran. Begitu pun petasan yang biasa meramaikan malam-malam Ramadan hingga akhir lebaran, sebagai penanda "pesta" perayaan Idul Fitri. 

Oleh karenanya, petasan menjadi salah satu ciri akulturasi budaya Tiongkok dan Islam, selain baju koko. 

Bentuk akulturasi budaya lainnya adalah ketupat, makanan yang dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga ini merupakan upaya penyebaran Islam melalui kebudayaan agraris beserta mitos yang hidup kala itu. Ketupat kini menjadi makanan khas hari raya yang hampir tidak pernah terlewatkan. 

 Acara terakhir adalah halalbihalal, acara berkumpul untuk saling bermaaf-maafaan ini diperkenalkan oleh Mangkunegara. Untuk efisiensi waktu, tenaga, dan biaya, pangeran yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa ini mengumpulkan para punggawa istana untuk sungkem bersama kepada raja dan permaisuri. 

Namun istilah halalbihalal sendiri baru diperkenalkan pada 1948 oleh K.H Wahab Chasbullah. Kala itu Sukarno meminta pendapat terkait nama lain penyebutan kumpul untuk silaturahmi, mencari keharmonisan hubungan dengan saling memaafkan kesalahan. 

Setiap tradisi memiliki kisah yang berbeda-beda, baik karena pengaruh budaya ataupun sosial politik yang berlaku. 

Preview

populerRelated Article