Home
/
Technology

CD Lahir, Dirayakan, dan Perlahan Ditinggalkan

CD Lahir, Dirayakan, dan Perlahan Ditinggalkan
Kolumnis: 01 October 2018
Bagikan :

Pada 1974, Kees Schouhamer Immink, teknisi Optic Group of Philips Research, divisi riset milik Philips, mengepalai tim yang bertugas menciptakan Laservision, cakram berdiameter 30 sentimeter yang sanggup memuat file video digital. Melihat perkembangan yang tidak sesuai dengan harapan, Immink berpaling. Timnya lantas meneliti kemungkinan penciptaan cakram yang lebih kecil, yang hanya sanggup menampung file audio digital.

“Ada 101 masalah yang sukar dipecahkan,” tutur Immink tentang mengapa timnya berpaling, sebagaimana dikisahkan Dorian Lynskey dari The Guardian

Berjarak lebih dari 9.000 kilometer dari Belanda, Sony, perusahaan legendaris Jepang, turut mengembangkan cakram audio serupa. Sebelum dekade 1980, Sony dan Philips lantas bekerjasama. “Biasanya, Sony adalah musuh kami, tapi untuk kasus ini kami benar-benar menjadi teman baik,” tutur Immink.


Pada 1980, selepas berbulan-bulan bekerjasama, dua perusahaan tersebut merilis “Red Book,” suatu set standarisasi teknologi cakram audio. Secara sederhana, pada tahun itu, CD alias compact disc lahir. CD merupakan cakram plastik yang memuat data digital. Secara fisik, CD memiliki diameter 120 mm (4,75 inci) dengan ketebalan berada di angka 1,2 mm (0,05 inci). CD dibuat dengan menggunakan plastik polikarbonat yang dilapisi lapisan metal reflektif dan akrilik. Pada versi awal, CD memuat data audio dengan resolusi sebesar 16 bit/44.1kHz. Dengan resolusi demikian, CD sanggup menampung file audio berdurasi 2,5 jam. Data digital yang tersimpan diekstraksi menggunakan sinar laser yang terdapat dalam pemutar CD.

Di lain pihak, seorang diri Sony merilis CDP-101, pemutar/pembaca CD pada 1 Oktober 1982, tepat hari ini 36 tahun lampau. Sony CDP-101 merupakan CD player komersial pertama di dunia yang dijual sekitar sekitar $730. Kala pemutar tersebut muncul, baru ada 113 album berformat CD yang bisa dinikmati pemilik. Per album, sebagaimana dikutip dari Wired, dijual seharga $33 hingga $45 dengan kurs saat ini. 

Untuk mempopulerkan CD sebagai medium penyimpan file audio, khususnya musik digital, Sony beserta Philips mendirikan perusahaan label bernama CBS dan Polygram. Di bulan sama kelahiran CDP-101, CBS merilis album ulang Billy Joel bertajuk “52nd Street.” Beberapa album musik menyusul selepasnya. Meskipun masih kecil dalam segi kuantitas soal album berformat CD yang diluncurkan, hanya dalam tempo setahun semenjak dilahirkan, terjual 5,5 juta CD dan 350 ribu pemutar CD di seluruh dunia. Ini langkah awal kesuksesan CD.

Kesuksesan tersebut berbanding terbalik dengan perkiraan industri label. Jerry Moss, pemimpin A&M Records, menyatakan bahwa medium baru tersebut “memusingkan dan membingunkan pelanggan.” Investasi yang besar untuk mengganti format lama ke CD jadi salah satu alasan mengapa Moss memprediksi CD tak berumur lama.

Melansir Statista, puncak kesuksesan CD, khususnya sebagai pilihan format album musik, terjadi pada tahun 2000. Kala itu, 943 juta kopi album musik berformat CD terjual di pasar Amerika Serikat. Namun, selepasnya penjualan album musik berformat CD terus-terusan melorot. Pada 2016, hanya 99 juta kopi album musik berformat CD terjual di Amerika Serikat.

infografik mozaik compact disc

Diberangus Napster, lalu Spotify


Delapan tahun selepas CD lahir, baik Sony dan Philips lantas meluncurkan CD-R. Tambahan huruf “R” berarti recordable. Artinya, berbekal CD-R yang dijual kira-kira $17 saat cakram tersebut pertama kali ada, set personal computer (PC) yang telah terpasang aplikasi “pembakar” CD, masyarakat umum bisa mencetak album musiknya sendiri dalam CD. Ryan Waniata, dalam tulisannya di Digital Trends, menyebut bahwa penciptaan album musik berformat CD “jadi sesuatu yang mainstream di tengah masyarakat.” Perlahan, CD-R membunuh kakak kandungnya sendiri, CD.

Kelahiran CD-R membuat masyarakat mudah dan murah berbagi file musik digital. Penjualan CD original perlahan menurun digantikan kopi bajakannya. Namun, tamparan paling berat dunia CD datang pada 1 Juni 1999. Kala itu, Shawn Fanning beserta Sean Parker menciptakan Napster, layanan berbagi file berkonsep peer-to-peer. Memanfaatkan Napster, masyarakat bisa membagi dan mengunduh terutama file musik digital. Mengutip Lifewire, Napster populer. Di masa-masa awal kemunculan layanan itu, ada 80 juta pengguna teregistrasi. Mereka saling berbagi file musik digital.

Napster jadi tempat transaksi file musik digital bajakan di dunia internet paling populer. Alasannya, mengapa masyarakat harus mengeluarkan uang $20 untuk album musik jika mereka bisa mendapatkannya secara gratis melalui Napster. Saking populernya, Napster mengancam industri musik. Mengutip Pew Internet, di awal kemunculan Napster, penjualan industri musik turun 8,5 persen menjadi 428,4 juta.

Metallica, salah satu band legendaris dunia, bahkan menuntut Napster pada Februari 2001.

Atas tindakan ilegal yang dilakukan Napster, layanan tersebut tak berumur lama. Di akhir 2001 Napster diputus harus tutup atas perintah pengadilan. Napster mati, terbitlah Spotify.

Pada April 2006 Daniel Ek meluncurkan Spotify, layanan streaming musik. Steven Bertoni, dalam tulisannya di Majalah Forbes, menyebut Spotify sebagai “yang ditunggu-tunggu industri musik lebih dari satu dekade.” Dengan hanya $10 per bulan atau Rp49.990, jutaan musik di katalog Spotify bisa didengarkan pengguna secara legal. Nilai uang yang disebut sedikit dibandingkan rerata uang yang dikeluarkan untuk membeli CD audio. “Kami persembahkan musik ke pesta,” kata Daniel Ek sedikit mendeskripsikan aplikasinya.


Kehadiran Spotify semakin mengubur CD. Rilisan fisik tersebut terkubur oleh konsep streaming. Perangkat smartphone bisa menampung jutaan musik dari berbagai belahan dunia.

Yang menarik, Spotify lahir bukan sebatas membuat sebuah smartphone berukuran kecil memiliki jutaan musik, tetapi juga menghadirkan konsep baru: personalisasi. Spotify menghadirkan personalisasi musik melalui fitur mereka bernama “Discover Weekly.” Adam Pasick, dalam tulisannya di Quartz, menyebut bahwa kekuatan Spotify itu terletak pada playlist atau daftar lagu yang dibuat secara mandiri lebih dari 2 juta penggunanya.

Jika seseorang X menyukai musik A, Spotify lantas melihat pengguna-pengguna lain yang menyukai musik A. Playlist yang dibuat pengguna lain itu, dengan algoritma khusus, diberikan pula pada pengguna X. Ini membuat para pengguna Spotify seakan-akan direkomendasikan musik-musik baru tanpa batas. Suatu hal yang tak mungkin dilakukan dunia musik di era CD.
Baca juga artikel terkait CD atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin

Tags:
populerRelated Article