Api Cemburu Membunuh Model Playboy Dorothy Stratten
“Dorothy telah hidup dalam apa yang dapat digambarkan sebagai dongeng Hollywood.”
Begitulah pesan yang tertulis dari sampul Majalah Playboy edisi Playmate of the Year 1980. Dorothy Stratten memang mendapatkan semua diinginkannya dalam waktu relatif singkat dan di usia sangat muda. Kekayaan, ketenaran, dan segala hal duniawi lainnya ada di genggamannya.
Sayang, dongeng itu berakhir tragis. Dorothy ditemukan tewas di sebuah apartemen di barat Los Angeles. Ia meninggal di tangan suaminya, pria asal Kanada bernama Paul Snider. Kepala Dorothy hancur diterjang timah panas. Hasil visum menunjukkan bahwa Dorothy diperkosa sebelum dibunuh. Snider sendiri ditemukan terkapar tak bernyawa. Ia bunuh diri usai menghabisi pujaan hatinya.
Kabar tewasnya Dorothy membuat Playboy kalang kabut. Sampul majalah edisi Oktober yang memasang potret Dorothy sempat hendak ditarik, tapi urung terlaksana sebab kadung dicetak dalam jumlah banyak. Playboy akhirnya hanya menarik sampul kalender Playmate of the Year 1981 bergambar Dorothy dan membatalkan promosi Natal yang juga menampilkan sang model berpose di antara penggemar bersama Hugh Hefner, bos Playboy.
Pembunuhan tersebut adalah mimpi buruk bagi Playboy mengingat Dorothy dianggap sebagai aset perusahaan yang karismanya setara Marilyn Monroe. Namun, di balik itu, pembunuhan Dorothy adalah gambaran bagaimana ambisi “American Dream” bisa membuat siapapun gelap mata.
Si Polos Bertemu Si Culas
Model Playboy itu punya nama asli Dorothy Hoogstraten. Awalnya, ia bekerja sebagai pramusaji di Dairy Queen, sebuah restoran yang terletak di sebelah timur Vancouver, Kanada. Di sanalah Dorothy pertama kali bertemu dengan Snider pada 1978. Usia mereka, mengutip Washington Post, terpaut sembilan tahun. Dorothy 18 tahun, sedangkan Snider 27 tahun.
Saat itu, pandangan Snider tak bisa lepas dari Dorothy. Laki-laki dengan pekerjaan serabutan itu terus mengamati gerak-gerik Dorothy. Baginya, tubuh Dorothy begitu sempurna. “Gadis itu bisa menghasilkan banyak uang,” kata Snider kepada seorang kawan yang duduk bersamanya. Tak lama berselang, Snider berhasil mendapatkan nomor telepon Dorothy dari seorang pramusaji.
Snider segera menelepon Dorothy. Meski sempat buntu, sepik-sepik ala Snider akhirnya berbuah manis. Dorothy mulai membuka diri. Mereka pun intens ngobrol. Curhat soal keluarga, masa remaja, dan kehidupan. Obrolan tersebut membuat Snider paham bahwa ada kerentanan dalam diri Dorothy. Ia butuh sosok yang bisa hadir untuknya, begitulah kira-kira yang dipikirkan Snider.
Tak lama kemudian, keduanya makin lengket. Snider mengajak Dorothy jalan-jalan, membelikannya pakaian dan perhiasan, menyiapkan makan malam, sampai menyanyikannya satu-dua lagu romantis yang bikin Dorothy meleleh tak karuan. Dorothy merasa disayang sepenuh hati.
Namun, rupanya Snider punya maksud lain. Ia sekadar ingin memanfaatkan potensi Dorothy demi uang.
Benar saja, suatu ketika Snider meminta Dorothy berfoto tanpa busana. Dorothy mulanya ragu. Ia tak percaya diri dengan tubuhnya sendiri. Namun, setelah berhasil diyakinkan Snider, Dorothy akhirnya bersedia berfoto bugil.
Foto itu dikirim Snider ke Playboy, yang rupanya terkesima dengan hasil jepretan Snider. Foto tersebut mengantarkan Dorothy masuk dalam 25 besar Playmate edisi ulang tahun ke-25. Tak hanya itu, Dorothy memperoleh gelar Playmate of the Month untuk Agustus 1979. Dorothy dan Snider pun pindah ke Los Angeles. Dari sini, semuanya berubah.
Ilusi Pernikahan
Hari-hari Dorothy di Los Angeles sangat sibuk. Teresa Carpenter, dalam laporannya berjudul “Death of Playmate” yang dipublikasikan The Village Voice pada November 1980, menyebutkan bahwa Dorothy bekerja di Century City Playboy Club.
Pihak Playboy memoles penampilan Dorothy sedemikian rupa. Jerawat dihilangkan, rambutnya dipangkas sebahu, dan porsi latihan fisik berkala diwajibkan bagi Dorothy. Ia tak perlu melakukan operasi seperti kawan-kawannya yang lain di Playboy karena tubuhnya sudah dinilai "hampir sempurna." Namanya pun ikut berubah. Ia bukan lagi Dorothy Hoogstraten, melainkan "Dorothy Stratten."
Sadar bahwa jalan sukses untuk Dorothy terbuka lebar, Snider mengajaknya menikah. Mendengar kabar itu, teman kerja Dorothy membujuknya agar menolak ajakan Snider. Alasannya: karier Dorothy bisa terhambat. Pendapat senada juga diutarakan bos Dorothy, Hefner. Bagi Hefner, yang menganggap dirinya sebagai "sosok bapak" bagi Dorothy, menikahi Snider sama saja menyerahkan hidup kepada "seseorang bermental mucikari."
Dorothy tak peduli. Pada 1 Juni 1979, di Las Vegas, ia menikahi Snider. “Ia sangat peduli padaku. Ia selalu ada saat aku membutuhkannya. Aku tidak pernah membayangkan diriku bersama laki-laki lain selain Paul [Snider],” kata Dorothy mengungkapkan alasannya menerima pinangan Snider.
Usai menikah, karier Dorothy semakin moncer. Fotografer, promotor, sampai produser iklan memburu tanda tangannya. Tawaran bermain dalam serial TV dan film, mulai dari Fantasy Island hingga Galaxina, satu per satu masuk ke mejanya.
Namun, popularitas Dorothy justru membuat Snider gelisah. Ia merasa Dorothy berada di luar jangkauannya. Walhasil, Snider pun menuntut banyak dari Dorothy. Masih mengutip laporan Carpenter, Snider menginginkan kontrol mutlak atas urusan keuangan dan tawaran film yang diterima Dorothy. Snider juga menekan Dorothy untuk mengambil keuntungan sebesar 200 ribu dolar dari Playboy untuk membeli rumah. Snider bahkan mendorong Dorothy untuk tidur dengan Hefner agar kariernya di Playboy tambah melesat.
Sikap Snider membuat Dorothy sadar bahwa kebahagiaan dalam pernikahannya adalah ilusi semata. Ia yakin Snider hanya memperalatnya atas nama uang. Pertengkaran di antara mereka pun tak bisa dihindarkan.
Dipantik Api Cemburu
Awal 1980, Dorothy mendapatkan kesempatan berharga. Ia diajak bermain dalam film drama komedi berjudul They All Laughed besutan Peter Bogdanovich. Rencananya, Dorothy akan beradu akting dengan Audrey Hepburn dan Ben Gazzara. Dorothy pun terbang ke New York untuk ikut proses syuting.
Syuting They All Laughed rupanya jadi ruang cinlok antara Dorothy dan Bogdanovich. Kedekatan itu berlanjut usai film kelar diproduksi. Dalam “The Story of Playboy’s Most Tragic Playmate,” yang diterbitkan Harper's Bazaar (2007), Rose Minutaglio menjelaskan bahwa rasa cinta Dorothy ke Bogdanovich membuatnya melayangkan surat cerai ke Snider pada akhir Juni 1980.
Surat cerai Dorothy bikin Snider kalut. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Dorothy seraya minta penjelasan. Hasilnya nihil. Ia mengendus ada ketidakberesan dalam laku Dorothy. Dugaan utamanya: Dorothy selingkuh. Namun, Snider tak punya bukti. Ia akhirnya menyewa jasa detektif swasta bernama Marc Goldstein untuk menyelidiki sang istri.
Pada 8 Agustus 1980, Snider akhirnya bersua Dorothy. Dalam satu jamuan makan siang, Dorothy membeberkan semuanya, mulai dari fakta bahwa ia telah jatuh cinta pada Bogdanovich dan keinginannya untuk bercerai.
Pertemuan siang itu bikin Snider semakin kalut. Ia tak lagi bisa berpikir jernih. Di dalam kepalanya hanya ada keinginan untuk membalas dendam. Setelah mencari bedil, Snider pun memutuskan untuk mengakhiri nyawa Dorothy, sebelum akhirnya bunuh diri.
Bogdanovich terpukul oleh kematian Dorothy. Dalam wawancaranya dengan Vanity Fair pada 2014, ia mengaku kepergian Dorothy "cukup menghancurkan dirinya."
“Aku tergila-gila padanya. Kami saling mencintai. Momen terbesarku bersamanya adalah ketika kami membuat film bersama. Film itu kemudian hancur. Saya tidak peduli jika pada akhirnya saya tidak pernah membuat film lagi,” akunya.
Dalam memoar berjudul The Killing of the Unicorn: Dorothy Stratten 1960-1980 (1984), Bogdanovich menyebutkan bahwa kematian Dorothy tak bisa dilepaskan dari keberadaan Hefner dan gaya hidup jetset ala Playboy. Bahkan, ia melayangkan tuduhan bahwa Hefner mengeksploitasi Dorothy dan perempuan-perempuan lainnya di Playboy secara seksual dengan iming-iming karier yang sukses.
Tuduhan Bogdanovich dibantah Hefner. Dalam wawancaranya dengan Hillary Johnson, yang kemudian dipublikasikan Rolling Stone dengan judul “Hugh Hefner: Blows Against the Empire” (1986), Hefner mengaku menjalani hidup yang indah dan "tidak pernah melakukan eksploitasi seksual terhadap perempuan-perempuan Playboy."
“Saya seorang pria yang peduli,” ungkap Hefner. “Saya mengatakannya dengan penuh kejujuran—saya pikir saya benar-benar sudah menjadi orang yang jauh lebih baik daripada 20 tahun lalu. Bagi saya, tidak tergoda oleh kesuksesan dan kekuasaan itu penting.”
Drama Dorothy melibatkan tiga laki-laki. Ia yang mencintainya sebagai seorang kekasih. Ia yang memanfaatkannya sebagai sumber kekayaan. Dan ia yang menganggapnya sebagai putri semata wayang. Pada akhirnya, hidup Dorothy harus berakhir oleh salah satu di antara mereka.
Baca juga artikel terkait PLAYBOY atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani