6 Fakta RBT di Indonesia, Booming, Mati Suri lalu Perlahan Bangkit
Ilustrasi Foto: James Stamler/Unsplash
Uzone.id - Tahun 2005, Ring Back Tone (RBT) atau Nada Sambung Pribadi menjadi salah satu fenomena khusus di Indonesia. Pertumbuhan layanan di Indonesia meningkat secara pesat dalam waktu yang cukup singkat.Popularitas layanan ini juga didukung dengan layanan-layanan yang disediakan para provider seluler. Para pengguna ponsel yang ingin mendapatkan layanan ini harus membelinya dengan harga berbeda setiap nadanya.
Baca juga: Layanan RBT Jadi Andalan Para Musisi di Masa Pandemi
Di Indonesia, layanan nada dering menjelma menjadi bisnis yang sangat menjanjikan, tak hanya memberikan kepuasan bagi pengguna tapi juga memberi keuntungan bagi industri telekomunikasi dan industri musik yang saat itu mengalami penurunan penjualan kaset dan CD fisik.
Ada beberapa fakta menarik lainnya yang perlu diketahui mengenai perjalanan layanan nada dering atau nada sambung dari tahun ke tahun, berikut diantaranya:
Bisnis menjanjikan bagi musisi
Kasus pembajakan ilegal menjadi momok menakutkan bagi para musisi, lalu datanglah layanan nada sambung pribadi yang merupakan satu wilayah teknologi yang tak bisa dijangkau pembajak.
Dengan nada sambung pribadi, keuntungan bagi musisi mengalir secara legal dan tidak dicegat oleh oknum nakal karena susah untuk diduplikasi.
Penghasilan musisi hingga milyaran rupiah
Mengutip Merdeka.com, masa boomingnya fenomena RBT ini meningkatkan pendapatan mencapai Rp800 miliar setiap tahunnya dengan jumlah pengguna mencapai 27 juta orang.
Bahkan untuk beberapa musisi besar, satu single hit bisa menghasilkan puluhan milyaran rupiah dalam satu bulan.
Black Oktober, layanan premium dibekukan
Oktober 2011, BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) mengeluarkan peraturan Permenkominfo No 01/2009) yang mewajibkan semua layanan sms premium dihentikan. Ini tentu membuat para pelaku industri telekomunikasi dan khususnya musik mengalami penurunan pendapatan.
Tercatat pengguna layanan nada sambung pribadi yang semula mencapai 27 juta orang, mengalami penurunan sehingga 2 juta orang pada saat peraturan tersebut keluar. Begitupun pendapatan dari layanan ini menurun hingga 95 persen.
2020, Promosi RBT secara online
Meski saat ini perkembangan nada sambung seakan tidak hidup dan tidak mati, ternyata RBT masih dinilai menjanjikan.
Terlebih saat pandemi dimana ruang gerak para musisi dan penggemar dibatasi. Layanan nada dering menjadi platform yang paling berharga dan menjadi andalan untuk memasarkan karya mereka di tengah persaingan yang semakin ketat.
Perusahaan telekomunikasi membuat keberadaan RBT kembali terlihat menarik dengan berbagai promosi online. Termasuk mengadakan konser online dan melakukan promosi kode RBT di sosial media dan saluran YouTube mereka masing-masing.
Promosi nada sambung juga dilakukan melalui fitur saluran operasi telekomunikasi seperti RTB Copy, UMB, dan Gift Data.
Masa depan RBT di Indonesia perlahan bangkit
Terlepas dari keberadaannya yang tidak terlalu terlihat saat ini, RBT ternyata masih menunjukkan adanya pertumbuhan pengguna.
Menurut Megan Faustine, Marketing and Business Development Assistant Manager Forest Interactive Indonesia, jumlah pelanggan RBT bakal terus bertambah. Apalagi Indonesia diprediksi menjadi salah satu pasar smartphone terbesar secara global di 2025 dengan 96,4 persen pengguna prabayar.
Kartu prabayar sendiri masih menjadi pilihan utama pengguna smartphone di Indonesia, dan pelanggan RBT didominasi oleh pengguna prabayar.
Secara tak langsung pertumbuhan pengguna smartphone ini akan berimbas pada pertumbuhan pengguna nada sambung yang naik seiring naiknya pengguna prabayar.
Dominasi pelanggan RBT di tahun 2020
Data Forest Interactive menyebutkan jika pelanggan RBT di Indonesia saat ini didominasi oleh masyarakat wilayah Jawa Timur dan lagu-lagu yang dipakai kebanyakan bergenre lagu-kagu berbahasa Jawa.