3 Konflik Menyeramkan di Dunia Melibatkan Facebook
Ilustrasi (Foto: Thought Catalog - Unsplash)
Uzone.id - Facebook mengalami pemadaman (down) pada Senin (4/10/2021), dan berdampak pada pengguna di seluruh dunia kurang lebih sekitar enam jam.Pemadaman itu di tengah laporan serius yang disampaikan wistleblower (saksi pelapor) Frances Haugen kepada The Wall Street Journal. Tak cuma Facebook, keluarga aplikasinya, Instagram dan WhatsApp juga ikutan padam.
Padamnya Facebook, Instagram dan WhatsApp terjadi setelah Frances Haugen membuka identitasnya dengan tampil di program 60 Minutes, CBS. Dia mengungkapkan bahwa Facebook tahu bagaimana platformnya dipakai untuk menyebarkan informasi yang salah, kebencian, dan kekerasan.
BACA JUGA: Iqbaal Ramadhan Akui ID LINE Bocor, Diserbu Ribuan Chat
Malah, Facebook makin terpuruk setelah Haugen bersaksi di depan subkomite Senat pada Selasa (5/10/2021) dengan menuduh Facebook telah merugikan anak-anak, dan melemahkan demokrasi.
Dia juga mengatakan di Twitter pada Selasa (12/10) bahwa dirinya telah menerima undangan untuk memberi pengarahan kepada Dewan Pengawas Facebook soal apa yang dipelajarinya selama bekerja di sana.
“Facebook telah berbohong kepada dewan berulang kali, dan saya berharap untuk berbagi kebenaran dengan mereka,” kata Frances Haugen.
CEO Mark Zuckerberg pun telah menyampaikan bantahan mengenai kesaksian Frances Haugen di laman Facebook.
"Tuduhan itu tidak benar. Kami sangat peduli dengan masalah, seperti keamanan, kesejahteraan, dan kesehatan mental. Berat rasanya melihat pemberitaan menggambarkan hal yang salah soal pekerjaan dan motif kami," kata Zuckerberg.
Faktanya, Facebook juga telah beberapa kali mendapat tuduhan karena memicu konflik, seperti yang terjadi di peristiwa kerusuhan Capitol AS pada 6 Januari 2021, kerusuhan anti-Muslim di Srilanka hingga peristiwa pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
BACA JUGA: 4 Fitur Tersembunyi Telegram yang Kamu Harus Coba
Kerusuhan di Capitol AS
Facebook dituduh telah berkontribusi terjadinya kerusuhan di Capitol AS pada 6 Januari 2021, di mana para pendukung calon presiden Donald Trump terhasut untuk turun ke jalan dan mengepung Capitol AS karena mereka yakin pemilu telah dicurangi.
Kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas. Namun, Facebook membantah platformnya jadi biang kerusuhan di Capitol AS.
Facebook dituduh telah melonggarkan perlindungan keamanan di platformnya usai pemilihan presiden 2020. Hal tersebut membuat pendukung Donald Trump menyerbu Capitol.
Namun Wakil presiden kebijakan dan urusan global Facebook, Nick Clegg menulis memo 1.500 kata kepada staf dan memperingatkan mereka tentang tuduhan menyesatkan.
"Saya rasa pernyataan bahwa serangan 6 Januari disebabkan oleh media sosial adalah hal yang menggelikan," kata Nick Clegg.
Nick Clegg lalu menambahkan, tanggung jawab terletak pada orang-orang yang melakukan kekerasan dan mereka yang memotivasinya, termasuk Trump dan orang-orang yang menyatakan bahwa hasil pemilu telah dicurangi.
Selain itu, Nick Clegg juga menjelaskan bahwa perubahan pada sistem peringkat algoritmik dalam satu platform media sosial tidak bisa menjelaskan polarisasi masyarakat yang lebih luas.
BACA JUGA: Gara-gara ‘Squid Game’, Permen Dalgona Jadi Tren di TikTok
Kerusuhan Anti-Muslim di Sri Lanka
Facebook pun meminta maaf karena platformnya ikut berperan dalam kerusuhan Anti-Muslim di Sri Lanka pada tahun 2018.
Permintaan maaf itu disampaikan Facebook setelah dilakukan investigasi oleh perusahaan sendiri kalau platform media sosial yang didirikan Mark Zuckerberg itu kemungkinan berperan dalam kekerasan terhadap penganut Muslim.
Ketika itu, anti-Muslim meluapkan kemarahannya di media sosial hingga pemerintah Sri Lanka memblokir akses ke Facebook dan memberlakukan kondisi dadurat.
"Kami menyesalkan penyalahgunaan platform kami," kata Facebook.
Facebook juga mengatakan,"Kami mengakui, dan meminta maaf atas dampak nyata terhadap hak asasi manusia yang dihasilkan."
Kerusuhan Anti-Muslim itu membuat tiga orang terbunuh dan 20 lainnya cedera. Masjid dan tempat usaha warga Muslim jadi sasaran amuk massa, terutama di wilayah tengah negara yang mayoritas penganut Buddha Sinhala itu.
Konsultan Hak Asasi Manusia Article One mengatakan ujaran kebencian dan desas-desus menyebar di Facebook "mungkin telah menyebabkan kekerasan ‘offline’”.
Dikatakan, sebelum kerusuhan Facebook telah gagal menghapus konten sejenis yang "memicu ujaran kebencian dan bentuk pelecehan lainnya dan bahkan menyebar".
BACA JUGA: Whistleblower Tuding Facebook Berulang Kali Berbohong
Kekerasan Terhadap Etnis Rohingya
Facebook mendapat kritik dari seorang hakim di Washington DC pada Rabu (22/9/2021) karena gagal mentransfer informasi ke penyidik yang berupaya memberikan hukuman kepada pemerintah Myanmar karena melakukan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Hakim memerintahkan Facebook agar mau memberikan catatan pemilik akun yang terkait dengan kekerasan anti-Rohingya di Myanmar, yang telah diblokir oleh Facebook.
Namun, Facebook menolak memberikannya dengan alasan hal itu bisa melanggar hukum Amerika Serikat yang melarang layanan jasa komunikasi elektronik mempublikasikan komunikasi para pengguna.
Hakim punya pandangan jika unggahan di Facebook yang telah dihapus tidak masuk dalam kategori seperti yang dimaksud UU tersebut.
“Facebook menggunakan jubah hak-hak privacy yang penuh dengan ironi. Situs-situs berita menuliskan sejarah skandal privacy Facebook yang kotor,” kata hakim.
Facebook sebenarnya sudah secara sukarela dan sah mengungkap data-data ke sebuah badan PBB, yang secara independen menginvestigasi kasus pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Pada 2017, lebih dari 730 ribu etnis Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine, Myanmar setelah kerusuhan meletus dan militer menggunakan kekerasan terhadap mereka.
Namun, otoritas Myanmar mengklaim apa yang mereka lakukan adalah melakukan operasi terhadap para pemberontak.